Search This Blog

Friday, November 13, 2015

Satu Waktu Ketika Hatimu Pergi (Season 3)

Via google.co.id

Entah apa yang di pikirkan gadis itu sebenarnya. Ranto tidak mengerti bagaimana bisa seseorang hampir menangis hanya gara-gara terlambat? Mata gadis itu terlihat sedikit berkaca-kaca. Tiba-tiba saja Ranto merasa ia ingin melindungi gadis itu.
Ia tidak membantu gadis itu memungut daun-daun. Tentu saja ia tak akan melakukan tindakan bodoh itu. Bahkan  sampai jam pulang sekolah pun ia tidak yakin mereka berdua bisa  mengumpulkan seluruh daun-daun yang tersebar di sekitar gedung aula yang luas. Apa lagi hanya dengan kedua tangan.
Ia hanya melihat gadis itu, mengamatinya. Tapi gadis itu tetap tidak berhenti. Kesal dan entah bercampur perasaan apa yang membuat tangannya tiba-tiba menarik lengan gadis itu hingga seluruh daun yang telah dikumpulkan gadis itu terjatuh dari genggaman. Ia tidak rela jika jari-jari gadis itu harus memunguti daun kotor yang beberapa telah membusuk bersama air hujan yang  tadi malam mungkin telah mengguyur tempat ini.
Sesaat mata mereka bersitatap. Gadis itu menatapnya dengan pandangan tak mengerti. Sementara Ranto terdiam. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi dalam beberapa detik berikutnya. Ranto merasakan seperti ada sesuatu yang menyengat hatinya, meski cuma sesaat.
“Hukuman ini hanya simbol. Kamu tidak perlu melakukannya seserius itu. Tugas kita disini belajar. Sudah Ada orang yang akan membersihkan tempat ini.” Lanjut Ranto dan segera menarik gadis itu menjauh dari aula menghapiri siswa-siswa lain.
 Ranto memungut tasnya. Gadis itu juga melakukan hal yang sama lalu berjalan pergi menjauh dengan kepala menunduk. Ia kaget. Ranto tak bermaksud berbicara keras di depan gadis itu. Tapi ia sungguh tidak mengerti kenapa ia bisa begitu peduli. Biasanya tidak seperti ini. Tidak pernah.
“ Kamu tidak minta surat izin masuk ?” Suara Ranto setengah berteriak. Ranto buru-buru menyesali ucapannya kemudian melangkah pergi. Itu bukan urusannya.
Belum lama ia melangkahkan kaki. Ranto merasa seseorang mengikuti langkahnya dari belakang. Gadis itu lagi. Ranto berjalan ke depan kantor. Meminta dua lembar kertas pada guru piket lalu menyerahkan satu pada gadis itu. Ia mencari pulpen dari dalam tas dan segera mengisi lembar itu. Menuliskan nama, kelas dan alasan keterlambatan.
Ranto menulis alasan klasik itu di lembarnya tanpa beban. Kesiangan. Ia melirik pada gadis di sebelahnya yang hanya diam memperhatikan. Lembar kertas itu masih kosong bersama dengan pulpen yang terselip di jari tangannya. Sesaat gadis itu tampak ragu. Tapi akhirnya ia menuliskan alasan yang sama. Kesiangan.
Kening Ranto berkerut. Ia mengamati gadis di sebelahnya tanpa sepengatahuan gadis itu. Sedikit menilai. Gadis yang rapi dengan rambut panjang yang diikat ke belakang. Terlalu rapi malah. Jika boleh di bilang gadis itu bisa dikatan sebagai murid teladan. Tas di punggungnya tampaknya berat dan penuh dengan buku-buku. Seragam yang dipakainya terlalu menaati peraturan sekolah.  Dia pasti siswi baik-baik. Tidak pernah mendapatkan masalah sebelumnya.
Tapi kenapa bisa terlambat? karena kesiangan? itu tidak mungkin.
Gadis itu meninggalkan Ranto yang masih terdiam sejenak. Ranto pun lalu memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Tapi sebelumnya ia berada di balik gedung. Ia penasaran dengan gadis itu dan ingin tahu lebih banyak tentangnya. Ranto lalu memutuskan pergi dari tempat itu dan menuju ke kelasnya setelah memastikan gadis itu masuk ke sebuah kelas.
***
Ranto mengamati foto satu persatu. Beberapa foto terpasang di dinding itu. Tak ada foto Ranto sendiri disana. Hanya ada foto Ranti atau pun foto mereka berdua. Di foto itu tertulis tanggal di ambilnya foto itu dan tempat mereka berfoto.
Dari sekian banyak foto. Ada satu foto yang di letakkan Ranto di tempat paling jauh. Bingkainya sudah hampir berdebu tak pernah di sentuh. Ranto menatap foto itu. Berusaha mengingat-ingat. Apa yang membuatnya meletakkan foto itu disana. Foto itu pasti pernah menjadi kenangan yang teristimewa.
Hanya foto sederhana yang memuat gambar dirinya bersama Ranti. Wajah Ranti yang masih putih alami tanpa sapuan make up tebal juga bibirnya yang menyunggingkan senyum tampak sangat cantik. Gadis itu tampak ceria. Rambutnya yang hitam panjang sepinggang dikepang seperti gadis desa. Mereka masih memakai seragam putih abu-abu. Ada pohon besar di belakang mereka. keduanya berteduh diantara rimbunnya daun pohon.
Seperti ada sesuatu dengan pohon itu. Ranto masih berusaha mengingat-ingat. Membuka kembali kenangannya selama tujuh tahun. Tak banyak yang ia ingat dalam rentang waktu sepanjang itu. Pohon itu mengingatkannya tentang satu hal. Sebuah janji.
***
“Kenapa kamu membawaku kesini?” tanya Ranti pada Ranto yang masih menggandeng tangannya.
 Gadis itu tidak suka keluyuran saat jam isitrahat. Ia lebih suka berada di perpustakaan. Paling tidak kantin lebih masuk akal di banding pergi ke belakang sekolah.
Ranto masih diam. “Tempat yang bagus bukan? aku selalu kesini.” Lanjut Ranto memperkenalkan tempat rahasianya pada gadis itu.
Ranti memandang sekeliling. Sejauh mata memandang tumbuhan hijau menjadi latar. Dia baru pertama kali ke sini. Tak percaya di belakang sekolahnya ternyata ada kebun yang indah.
“Untuk apa?” tanya gadis itu yang tak menatap Ranto di sebelahnya.
Ranti masih sibuk menyegarkan matanya dengan warna hijau. Ia bahkan bisa mendengarkan bunyi burung-burung bernyanyi di balik dahan pohon. Meski begitu ia masih bisa menyimak semua dengan baik yang dikatakan kekasihnya.
“Entahlah.” Jawab Ranto sambil mengangkat bahu. “ Disini sangat nyaman. Terkadang aku hanya duduk saja menikmati kicauan burung-burung sementara aku diam. Atau terkadang merenung memikirkan sesuatu. Aku hanya perlu duduk disini menarik napas perlahan dan membuangnya. Melakukan itu seolah bebanku hilang.” Lanjut Ranto dengan senyum. Ia belum melepaskan pegangan tangannya. Ranti ikut tersenyum di sebelahnya. Ia mulai menyukai tempat itu.
Di depan mereka ada sebuah pohon tua yang tinggi menjulang. Pohon tua itu masih tetap kokoh. Akar-akarnya kuat mencengkeram bumi. Pohon paling besar di kebun itu. Ranto menghentikan langkah. Ia tatap pohon itu dengan seksama.
“Pohon yang besar ya? Aku percaya kalau pohon ini pasti sudah berumur ratusan tahun. Tapi dia masih kuat dan kokoh. Lihat, tinggi bukan? sangat cocok di jadikan rumah pohon. Seseorang pasti akan merasa nyaman berada di atas sana.” Ranto mengacungkan telunjuknya ke atas pohon. Seolah benar-benar ada rumah di atas pohon itu. Ranti menengadahkan wajahnya ke atas mengikuti arah telunjuk Ranto.
Ranto menggenggam tangan Ranti lebih erat. menangkupkan kedua tangannya pada tangan kanan Ranti. Matanya menembus ke dalam mata gadis itu. “ Aku ingin cinta kita seperti pohon ini yang akan tetap kokoh tak peduli waktu berputar di tengah-tengah kita. Aku ingin mencintaimu selamanya.” Ucap Ranto lembut penuh pengkhayatan. Ia menekankan suaranya pada kalimat terakhir. Di tatapnya gadis itu. Ranti tersenyum. Keduanya berpelukan. Foto itu lalu diambil sebagai kenang-kenangan.
***

Ranto menghembuskan napas perlahan. Jam dindingnya berdentang-dentang sebanyak empat kali menunjukkan waktu yang telah disepakatinya bersama Ranti. Ia akan terlambat. Ranto tahu gadis disiplin itu pasti sudah berada di taman menunggunya. Entah kenapa tiba-tiba Ranto merasa tidak siap. Apa ia sanggup mengatakan itu? Sebuah kata yang jika telah di ucapkan akan mengubah semuanya. Menghancurkan kebersamaannya bersama Ranti. Mengubur tahun-tahun indah yang telah mereka lewati. Meski tahun-tahun terakhir seolah seperti neraka baginya.
Bersambung...

No comments:

Post a Comment