Via google.co.id
Entah apa yang di pikirkan gadis itu sebenarnya. Ranto
tidak mengerti bagaimana bisa seseorang hampir menangis hanya gara-gara
terlambat? Mata gadis itu terlihat sedikit berkaca-kaca. Tiba-tiba saja Ranto
merasa ia ingin melindungi gadis itu.
Ia tidak membantu gadis itu memungut daun-daun. Tentu saja
ia tak akan melakukan tindakan bodoh itu. Bahkan sampai jam pulang sekolah pun ia tidak yakin
mereka berdua bisa mengumpulkan seluruh
daun-daun yang tersebar di
sekitar gedung
aula yang luas. Apa lagi hanya dengan kedua tangan.
Ia hanya melihat gadis itu, mengamatinya. Tapi gadis itu
tetap tidak berhenti. Kesal dan entah bercampur perasaan apa yang membuat
tangannya tiba-tiba menarik lengan gadis itu hingga seluruh daun yang telah dikumpulkan
gadis itu terjatuh dari genggaman. Ia tidak rela jika jari-jari gadis itu harus
memunguti daun kotor yang beberapa telah membusuk bersama air hujan yang tadi malam mungkin telah mengguyur tempat
ini.
Sesaat mata mereka bersitatap. Gadis itu menatapnya dengan
pandangan tak mengerti. Sementara Ranto terdiam. Ia tidak tahu apa yang telah
terjadi dalam beberapa detik berikutnya. Ranto merasakan seperti ada sesuatu
yang menyengat hatinya, meski cuma
sesaat.
“Hukuman
ini hanya simbol. Kamu tidak perlu melakukannya seserius itu. Tugas kita disini
belajar. Sudah Ada orang yang akan membersihkan tempat ini.” Lanjut Ranto dan
segera menarik gadis itu menjauh dari aula menghapiri siswa-siswa lain.
Ranto memungut
tasnya. Gadis itu juga melakukan hal yang sama lalu berjalan pergi menjauh
dengan kepala menunduk. Ia kaget. Ranto tak bermaksud berbicara keras di depan
gadis itu. Tapi ia sungguh tidak mengerti kenapa ia bisa begitu peduli.
Biasanya tidak seperti ini. Tidak pernah.
“ Kamu
tidak minta surat izin masuk ?” Suara Ranto setengah berteriak. Ranto buru-buru
menyesali ucapannya kemudian melangkah pergi. Itu bukan urusannya.
Belum lama ia melangkahkan kaki. Ranto merasa seseorang
mengikuti langkahnya dari belakang. Gadis itu lagi. Ranto berjalan ke depan
kantor. Meminta dua lembar kertas pada guru piket lalu menyerahkan satu pada
gadis itu. Ia mencari pulpen dari dalam tas dan segera mengisi lembar itu.
Menuliskan nama, kelas dan
alasan keterlambatan.
Ranto menulis alasan klasik itu di lembarnya tanpa beban.
Kesiangan. Ia melirik pada gadis di sebelahnya yang hanya diam memperhatikan.
Lembar kertas itu masih kosong bersama dengan pulpen yang terselip di jari
tangannya. Sesaat gadis itu tampak ragu. Tapi akhirnya ia menuliskan alasan
yang sama. Kesiangan.
Kening Ranto berkerut. Ia mengamati gadis di sebelahnya
tanpa sepengatahuan gadis itu. Sedikit menilai. Gadis yang rapi dengan rambut
panjang yang diikat ke belakang. Terlalu rapi malah. Jika boleh di bilang gadis
itu bisa dikatan sebagai murid teladan. Tas di punggungnya tampaknya berat dan
penuh dengan buku-buku. Seragam yang dipakainya terlalu menaati peraturan
sekolah. Dia pasti siswi baik-baik.
Tidak pernah mendapatkan masalah sebelumnya.
Tapi kenapa
bisa terlambat? karena kesiangan? itu tidak mungkin.
Gadis itu meninggalkan Ranto yang masih terdiam sejenak.
Ranto pun lalu memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Tapi sebelumnya
ia berada di balik gedung. Ia penasaran dengan gadis itu dan ingin tahu lebih
banyak tentangnya. Ranto lalu memutuskan pergi dari tempat itu dan menuju ke
kelasnya setelah memastikan gadis itu masuk ke sebuah kelas.
***
Ranto mengamati foto satu persatu. Beberapa foto terpasang
di dinding itu. Tak ada foto Ranto sendiri disana. Hanya ada foto Ranti atau
pun foto mereka berdua. Di foto itu tertulis tanggal di ambilnya foto itu dan
tempat mereka berfoto.
Dari sekian banyak foto. Ada satu foto yang di letakkan
Ranto di tempat paling jauh. Bingkainya sudah hampir berdebu tak pernah di
sentuh. Ranto menatap foto itu. Berusaha mengingat-ingat. Apa yang membuatnya
meletakkan foto itu disana. Foto itu pasti pernah menjadi kenangan yang
teristimewa.
Hanya foto sederhana yang memuat gambar dirinya bersama
Ranti. Wajah Ranti yang masih putih alami tanpa sapuan make up tebal juga
bibirnya yang menyunggingkan senyum tampak sangat cantik. Gadis itu tampak
ceria. Rambutnya yang hitam panjang sepinggang dikepang seperti gadis desa.
Mereka masih memakai seragam putih abu-abu. Ada pohon besar di belakang mereka.
keduanya berteduh diantara rimbunnya daun pohon.
Seperti ada sesuatu dengan pohon itu. Ranto masih berusaha
mengingat-ingat. Membuka kembali kenangannya selama tujuh tahun. Tak banyak
yang ia ingat dalam rentang waktu sepanjang itu. Pohon itu mengingatkannya
tentang satu hal. Sebuah janji.
***
“Kenapa
kamu membawaku kesini?” tanya Ranti pada Ranto yang masih menggandeng
tangannya.
Gadis itu tidak suka
keluyuran saat jam isitrahat. Ia lebih suka berada di perpustakaan. Paling
tidak kantin lebih masuk akal di banding pergi ke belakang sekolah.
Ranto masih
diam. “Tempat yang bagus bukan? aku selalu kesini.” Lanjut
Ranto memperkenalkan tempat rahasianya pada gadis itu.
Ranti memandang sekeliling. Sejauh mata memandang tumbuhan hijau
menjadi latar. Dia baru pertama kali ke sini. Tak percaya di belakang
sekolahnya ternyata ada kebun yang indah.
“Untuk
apa?” tanya gadis itu yang tak menatap Ranto di sebelahnya.
Ranti masih sibuk menyegarkan matanya dengan warna hijau.
Ia bahkan bisa mendengarkan bunyi burung-burung bernyanyi di balik dahan pohon.
Meski begitu ia masih bisa menyimak semua dengan baik yang dikatakan kekasihnya.
“Entahlah.”
Jawab Ranto sambil mengangkat bahu. “ Disini sangat nyaman. Terkadang aku hanya
duduk saja menikmati kicauan burung-burung sementara aku diam. Atau terkadang
merenung memikirkan sesuatu. Aku hanya perlu duduk disini menarik
napas perlahan dan membuangnya. Melakukan itu seolah bebanku hilang.” Lanjut
Ranto dengan senyum. Ia belum melepaskan pegangan tangannya. Ranti ikut
tersenyum di sebelahnya. Ia mulai menyukai tempat itu.
Di depan mereka ada sebuah pohon tua yang tinggi menjulang.
Pohon tua itu masih tetap kokoh. Akar-akarnya kuat mencengkeram bumi. Pohon
paling besar di kebun itu. Ranto menghentikan langkah. Ia tatap pohon itu
dengan seksama.
“Pohon yang
besar ya? Aku percaya kalau pohon ini pasti sudah berumur ratusan tahun. Tapi
dia masih kuat dan kokoh. Lihat, tinggi bukan? sangat cocok di jadikan rumah
pohon. Seseorang pasti akan merasa nyaman berada di atas sana.” Ranto
mengacungkan telunjuknya ke atas pohon. Seolah benar-benar ada rumah di atas
pohon itu. Ranti menengadahkan wajahnya ke atas mengikuti arah telunjuk Ranto.
Ranto
menggenggam tangan Ranti lebih erat. menangkupkan kedua tangannya pada tangan
kanan Ranti. Matanya menembus ke dalam mata gadis itu. “ Aku ingin cinta kita
seperti pohon ini yang akan tetap kokoh tak peduli waktu berputar di tengah-tengah
kita. Aku ingin mencintaimu selamanya.” Ucap Ranto lembut penuh pengkhayatan.
Ia menekankan suaranya pada kalimat terakhir. Di tatapnya gadis itu. Ranti
tersenyum. Keduanya berpelukan. Foto itu lalu diambil sebagai kenang-kenangan.
***
Ranto menghembuskan napas perlahan. Jam dindingnya
berdentang-dentang sebanyak empat kali menunjukkan waktu yang telah
disepakatinya bersama Ranti. Ia akan terlambat. Ranto tahu gadis disiplin itu
pasti sudah berada di taman menunggunya. Entah kenapa tiba-tiba Ranto merasa
tidak siap. Apa ia sanggup mengatakan itu? Sebuah kata yang jika telah di
ucapkan akan mengubah semuanya. Menghancurkan kebersamaannya bersama Ranti.
Mengubur tahun-tahun indah yang telah mereka lewati. Meski tahun-tahun terakhir
seolah seperti neraka baginya.
Bersambung...