Jika menghitung orang yang telah
berjasa untuk hidupku maka akan mucul beberapa nama. Namun orang yang paling
berjasa dan dihadiahkan Tuhan selalu bersamaku di bumi ini bernama ibu. Ibulah
malaikatku.
Aku hidup di keluarga yang cukup
besar dengan banyak anak. Kebutuhan hidup yang harus dipenuhi memaksa ibu turut
bekerja membantu ayah,meski begitu ibu masih bisa mengurus kegiatan rumah
tangga dengan baik. Mengatur dengan cermat ekonomi keuangan keluarga sehingga kami
semua dapat sekolah. Aku tidak merasa kekurangan kasih sayang karena ibu tidak
membagi kasihnya pada 10 anak,tapi ia mencintai kami semua dengan sempurna.
“ Ayo, Maya. Berangkat sekolah dengan kakakmu.” Kata ibu setelah
mengucir rambutku menjadi dua bagian dengan pita biru. Kemudian mengalungkan
bekal minuman di leherku, sementara adikku menggelayut manja di kakinya.
Aku masih menyimpan memory itu. Saat
dimana aku masih duduk di taman kanak-kanak. Juga pita biru favoritku yang
selalu ibu pasangkan di rambutku. Ibu selalu menyiapkan segala keperluanku. Memastikan
bahwa anak-anaknya sarapan sebelum ke sekolah. Meski ada banyak pekerjaan lain
yang harus ia kerjakan,tapi dia selalu menomor satukan kami.
Tentu saja sebagai anak kecil
terkadang aku melakukan hal-hal yang membuatnya sulit. Mulai dari susah
bangun,merajuk tiba-tiba,tapi ibu tidak pernah mengizinkanku untuk bolos
sehingga aku harus pergi ke sekolah seterlambat apapun dan ia sendiri yang akan
mengantarku.
***
Sosok ibu untukku bukan hanya wanita
yang selalu memancarkan kasihnya. Ibu tidak hanya mampu melindungiku,tapi juga
mengajariku untuk selalu maju. Ia mendorongku untuk meraih masa depan.
Saat aku mengetahui banyak hal
dengan bantuan guru-guruku di sekolah. Ingatanku berpacu cepat pada wanita
paruh baya yang dengan sabar mengenalkanku pada huruf-huruf yang tidak
kumengerti sebelumnya. Membantuku membaca dengan mulai dari mengeja. Membimbing
tanganku untuk menulis.
Ketika aku mulai disibukkan dengan
mempelajari rumus dan rasa senang yang mekar di hatiku karena bisa menguasai
ilmu eksak. Kulihat bayang-bayang angka sederhana menari di pikiranku.
Mengingatkanku tentang buku lusuh dengan warna yang telah menguning kecoklatan.
Serta suara seseorang yang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjelaskan
matematika sederhana. Hanya tentang penjumlahan,pengurangan,perkalian dan
pembagian.
Ibuku bukan menteri pendidikan,tapi
ia selalu memperhatikan itu. Pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas.
Pasti bukan hal yang mudah memutar uang untuk keperluan hidup dan sekolah kami.
Via dokumen pribadi
“Saat sebuah ijazah tergenggam, itu untukmu ibu.”
Langit senja masih memayungiku saat
aku sedang termenung duduk di teras rumah. Menghirup udara sore perlahan dengan kedamaian. Teringat tentang wajah penuh
kasih dari ibu. Senyumnya yang selalu menemaniku dan tak pernah lekang oleh
waktu. Menyertai pertumbuhan dari seorang gadis kecil menjadi wanita dewasa
yang tak hanya ingin bergantung pada orang lain. Seseorang yang selalu berjuang
untuk kebahagiaanku. Seseorang yang mengajariku banyak hal,yang selalu ada
untukku dan yang selalu kubutuhkan hadirnya.
Aku menyandarkan punggungku lebih
dalam di kursi dan memejamkan mata perlahan. Sketsa wajah itu begitu
teduh,bayang senyumnya mampu mendamaikanku.
Ibu..
kau telah memberikan
segalanya untukku. Kau yang selalu menemaniku, menguatkanku dan mendukung
langkahku. Aku selalu ingat moment itu,saat aku berangkat sekolah untuk pertama
kalinya kau yang tersenyum bahagia mengatakan hal-hal menarik tentang
sekolah,menyiapkan segala keperluanku dan dengan cekatan menata rambutku lalu
mengikatnya dengan pita biru.