Setiap kita pasti pernah jatuh
cinta. Perasaan aneh itu tiba-tiba saja hadir saat seragamku putih abu-abu.
Tanpa persiapan. Aku yang tak tahu beda kekaguman dan cinta. Sampai akhirnya
seseorang membawa cinta sederhana yang dengan mudah kupahami. Apa sih cinta
menurut kalian? Menurutku cinta memiliki energi yang bisa mengubah banyak hal,
seperti : Membuatku dapat melihat jalan yang semula buntu, menghilangkan
kebencianku pada sesuatu.
“Ayo cepat, kita sudah terlambat.” Vita menggiring kami yang
berjalan malas dari ruang ganti.
“Hei, hei Ulvii.. bukan kesana.” Kutarik lengan Ulvi berbelok ke
kanan menuju lapangan.
“Kukira kita akan ke kantin dulu. Pak Han juga sering telat.”
“Ide yang bagus. Ayo!” Ria bersemangat.
Benar juga. “Tunggu apa lagi.” Kami bertiga sudah akan berbalik
saat Vita dengan sigap merentangkan tangannya.
“Eh, eh.. tidak ada ke kantin. Yang ada istirahat itu setelah
olahraga.” Katanya galak. Mata Vita yang melotot dibalik kacamatanya membuat
wajahku mengkerut. Ria dan Ulvi langsung diam mengikuti Vita ke lapangan.
“Bukannya kamu paling benci olahraga.” Kataku yang berjalan
menyiput di belakangnya. Kami sudah hampir sampai. Mataku tertuju pada
segerombolan anak-anak berkaus biru, sama dengan yang kukenakan.
“Aku memang benci olahraga, tapi aku lebih benci nilai jelek.”
Katanya mantap.
“Baik. Anak-anak perkenalkan nama saya Erik Ardiansyah..”
Kami sudah berada di kelompok itu
dan mengambil posisi berjajar. Aku berniat merentangkan tanganku untuk
mengambil jarak dari Vita dan Ulvi. Kedua tanganku sudah mengenai sikut mereka
padahal aku masih belum sempurna membentuk sayap pesawat terbang. Vita
melirikku gemas. Aku tidak jadi merentangkan tangan. Hanya meniru barisan di
depanku.
“Kalian bisa memanggil saya pak Erik. Saya disini menggantikan pak
Han yang cuti sementara waktu karena sakit.”
Terserah. Aku menutup mulutku yang mulai menguap. Kenapa kalau
pelajaran olahraga aku selalu mengantuk ya? dan tidak siap. Kenapa harus
sekarang? aku akan senang kalau bisa melakukan ini besok. Ah, lebih senang lagi
jika tidak sama sekali. Aku benci olahraga.
“Apa sih?” tanyaku kesal pada Ulvi yang dari tadi menyenggol
lenganku. Semua keluhanku buyar.
“Itu guru baru.” Katanya memasang wajah innocent dengan mata
berbinar.
“Sudah tahu.” Cibirku.
Penasaran seperti apa guru baru
kami, kujulurkan juga wajahku ke depan. Mata Ulvi hanya akan berbinar kalau
melihat cowok cakep. Sekarang ia malah menggigit-gigit ujung jari telunjuknya
dan tersenyum-senyum sendiri. Genit.
“Memangnya kenapa kalau guru ba..?”
Oh God. Mata itu.. Hidung mancung, kulit putih, tubuh tinggi
atletis dengan topi di kepala. Aku melihatnya tepat saat ia tersenyum.
“Si..si..sii”
“Si Erik.” Celetuk Ria bingung.
“CHOI SIWON.” Jeritku histeris seperti bertemu dengan bintang Korea
idolaku.
Upss..
Semua menoleh ke arah kami. Pasti
bukan ke arah kami berempat. Tepatnya hanya ke arahku. Aku tidak percaya. Apa
suaraku terlalu keras? kakiku seperti tidak menapak. Langsung lemas karena
malu. Teman-teman sekelas tertawa rusuh.
“ Hei. Gurunya disana. desis Vita jengkel ketika satu-dua anak
masih menoleh ke arah kami. “Apa?” ia melotot dan mengancungkan kepalan
tangannya.
“Ada pertanyaan?” suara pak Erik memecah keheningan.
Lita mengangkat tangannya sebelum lebih dulu membenarkan poni
rambut dan merapikan kaus birunya. “Kalau boleh tahu. Berapa usia Pak Erik?”
tanyanya malu-malu. Tingkahnya bahkan lebih genit dari Ulvi. Huh.. Sebal.
“Saya baru lulus kuliah dua tahun tahun yang lalu. Jadi bisa
mengira-ngira sendiri kan berapa usia saya sekarang?” Jawabnya santai tak lupa
membubuhkan senyum andalannya.
Aku segera menggunakan sepuluh
jariku untuk menghitung. Bagaimana pun pertanyaan Lita juga penting dan sangat
membatuku. Oh, usianya 25 tahun. Kulirik teman-teman perempuanku juga sedang
sibuk dengan jari-jari mereka. beberapa dari mereka berbisik. 25.. 25.. Sepertinya
aku punya banyak saingan.
“Hari ini kita akan berlatih voli. Untuk pemanasan lari
mengelilingi lapangan ini 2x. Ayo!”
Kami semua langsung berlari.
Sebentar aku menengadahkan wajahku ke atas. Silau sang surya mengenai mataku.
Ada gumpalan awan putih. Entahlah, menurutku gumpalan itu berbentuk simbol hati..love.
Langit sangat cerah. Aku merasa memiliki energi berlebih. Berjuta kupu-kupu
rasanya sedang menyinggahi bagian hatiku. Ada yang menari-nari dipikiranku.
Wajah pak Siwon. Eh, pak Erik ya.
Selesai berlari orang-orang
berebutan mengambil bola yang sudah disiapkan sekeranjang penuh. Biasanya aku
tidak pernah berdesak-desakkan mengambil bola seperti ini. Hanya duduk
menonton. Tidak dapat juga tidak apa-apa. Sama sekali tidak menyesal.
“Eh,,eh.. Jangan dorong-dorong. Kalian
semua kayak anak kecil ya. Itu bolaku..” Kataku geram meski hanya akan
terdengar seperti bisikan angin diantara keriuhan lebah. Dari tadi aku susah
payah mengambil bola di keranjang. Begitu dapat selalu ada yang menyerobot.
Bola terakhir. Seorang anak laki-laki mengambilnya. Kerumunan seketika bubar
mengetahui keranjang itu kosong. Aku berjalan gontai. Mulutku sibuk menceracau
kesal.
Hanya benda kecil tidak berguna. Siapa yang butuh..”bola?” Seseorang di depanku menoleh. Pak Erik.
“Kamu tidak mendapat bola? ambil ini.” Katanya tersenyum.
Ah, jangan tersenyum. Jangan sekarang. Kalau pingsan disini aku
bisa malu, juga tidak mau
mabuk saat ini. Aku segera
berlari kecil meninggalkan pak Erik sambil sesekali menoleh.
Vita menghampiriku dengan wajah kecewa. “Aku tidak mendapat bola.”
“Ini.” Kataku menunjukkan benda bulat yang kini sudah merekat di kedua
jari-jari tanganku.
“Bagaimana kamu bisa..?”
“Mudah mendapatkannya. Aku hanya perlu bilang..bola.” Kataku bangga
menaikkan sedikit alisku sambil tersenyum. Vita tidak tahu kalau pak Erik yang
memberikannya cuma-cuma. Hmm, sepertinya guru baru itu mulai tertarik padaku.
hehe.. sssttt
***
Pensil ditanganku masih sibuk menari
dalam lembar belakang buku fisikaku.
“Hukum gravitasi newton berbunyi : dua benda di alam ini saling
tarik dengan gaya yang besarnya sebanding dengan masa setiap benda dan..” Sayup-sayup
kudengar pak Rudi, guru muda itu menerangkan. Tapi aku tidak berniat
memperhatikan. Bosan. Perasaanku sedang tidak enak.
Kulihat anak-anak kelas sebelah
memakai baju olahraga melewati depan kelasku. Rasanya aku juga ingin ikut
berhambur menuju lapangan. Bertemu pak Choi Erik. Wah, alangkah senangnya.
Sudah hampir sebulan dia mengajar
disini. Aku memang tetap tak pintar di bidang olahraga, tapi sekarang aku
selalu menantikan pelajaran itu. Rela deh kalau pelajaran fisika ini diganti
aja dengan pelajaran olahraga. Xixixi..
Sketsa yang kubuat sudah hampir
selesai. Gambar seseorang memakai topi dengan membawa bola terlihat dari
samping. Sedikit tidak jelas, tapi tampak tersenyum. Aku sengaja mengaburkan
sekelilingnya untuk lebih menonjolkan objek.
Kupandangi gambar itu lekat-lekat.
Memori otakku berputar teringat waktu itu. Saat tak kebagian bola voli pada
minggu pertama dan beberapa peristiwa sesudahnya.
***
Minggu Kedua, penilaian untuk guling depan.
“Wah, kebetulan aku ngantuk udah disediain matras.” Seru Ria
mendekat ke arah matras yang tergeletak di depan kami. Sebentar dia malah udah
duduk disana.
“Hari ini penilaian guling depan. Kalian akan melakukannya 2x. Satu
sebagai latihan dan satunya untuk penilaian.” Kata pak Erik yang tiba-tiba
muncul dan langsung dikerumuni anak-anak.
“Kamu mau coba dulu?” pak Erik mendekat pada Ria yang masih duduk
di matras.
“Nng..nggak pak.” Ria berwajah pucat menjauhi matras. Langsung
menempel di sebelahku.
“Melda pak, mau maju dulu.” Kata Ulvi percaya diri. Aku separuh
melotot ke arahnya. Separuh lagi masih kaget. Melda? aku?
“Kalau kamu suka pak Erik. Kamu harus terlihat menonjol. Ayo, Melda
bisa.” Bisik Ulvi kemudian.
“Tapi.. Aku nggak bisa.” Desisku dengan mata yang benar-benar bulat
sempurna karena marah.
Sejak kapan aku menjadi yang pertama
saat olahraga? Biasanya aku urutan akhir. Kalau gurunya sudah malas
memperhatikan, aku baru berani maju. Yah, kalau menjadi yang pertama diantara
Ria dan Ulvi itu sih sering.
“Imelda, silahkan.” Kata pak Erik setelah mencontohkan terlebih
dahulu.
Kupaksakan langkahku mendekat ke
depan matras. Dag dig dug. Seperti dimikrofon aku bisa mendengar bunyi
jantungku sendiri. Huufftt.. Aku mendesah perlahan.
Rileks, Melda. Ini bukan detik-detik menuju tiang gantungan.
“Kamu siap?” Aku mengangguk. Mulai membuat ancang-ancang.
“Hahaha.” Teman-teman tertawa riuh.
Seperti sulap tubuhku sudah
terbaring di matras. Yee.. aku bisa. Tapi kenapa cepat sekali? Aku merasa belum
melakukan apa pun. Kenapa juga mereka semua tertawa? membingungkan. Bahkan saat
aku meninggalkan matras tawa itu masih berderai. Kutangkap pak Erik juga
menahan senyum lepas.
“Apanya yang lucu?” tanyaku pada Ria yang masih terkikik.
“Wkwkwkw.. kamu guling depannya miring.” Jawabnya sambil memegangi
perut. Aku menunduk. Diam.
“Tidak mengapa. Pak Erik akan mengingat ini, setidaknya kamu sudah
berusaha.” Hibur Vita lembut. Matanya nampak teduh meski terperangkap kaca.
Ulvi menepuk-nepuk bahuku.
Sepanjang penilaian tadi perutku
seperti dikocok. Tidak putus-putus tertawa. Ternyata selain aku banyak juga
yang tidak bisa. Ada yang miring ke kanan, miring ke kiri, terguling jatuh ke
lantai. Ada yang sangat cepat menjungkirkan tubuh hingga tahu-tahu tidak di
matras lagi malah di depan penonton bahkan ada yang sangat akrobatik bukannya
jungkir malah menyundul matras dengan kaki di atas pada posisi berdiri hingga
pak Erik harus membantunya untuk jatuh kalau tidak kepalanya bisa keseleo.
Hihi..
***
Minggu ketiga, bermain basket.
Pertandingan basket ini berlangsung
sangat seru. Jangan bayangkan seperti pertandingan basket pada umumnya yang
terlihat keren mendribel bola menghindari lawan dengan berbagai trik. Jangankan
memikirkan trik tipuan, mendribel saja banyak yang tidak bisa.
Seseorang yang sudah berhasil menggondol
bola langsung saja berlari menuju gawang lawan. Musuh juga tidak akan tinggal
diam. Merebut paksa, tarik menarik bola, saling mengunyel-unyel rambut, dan
memegangi kaus penerima bola agar tidak lari.
“Qiqiqiq.. ampun..jangan..Vita..curang. Pak, Vita curang.” Kataku
sambil menghindari jari-jari vita yang menggelitiki perutku.
Kuoper bola ke arah Ria. Anak itu bingung dengan serbuan
teman-teman lain. Ia malah memberikannya pada Ulvi.
“Vit, aku dapat bolanya.” Teriak Ulvi Riang.
“Kenapa dilempar ke Ulvi.”
“Dia kan teman kita.”
“Ria, saat ini kita sedang bertanding.” Kuseka keringat di
pelipisku. “Vita dan Ulvi bukan tim kita.” Lanjutku tak bertenaga. Dahi Ria
hanya mengernyit bingung.
“Bawa sini.” Vita lebih dulu menjulurkan lidah padaku. Ia melemparkan
bola ke ring. Masuk. Pak Erik meniup peluit. Waktu habis, 1-0. Kalah.
Lamunanku buyar saat Vita yang duduk
di depanku menggeser bangkunya untuk maju ke depan mengerjakan soal. Aku
menjentik-jentikkan jariku sebentar. Lembar buku itu kusobek dengan penggaris.
Kulipat dua dan menyelipkannya di buku yang sama.
***
“Ayo, semangat teman-teman.” Kata Vita mulai berlari menjadi yang
terdepan dari kami berempat. Hari ini kami ditugaskan untuk berlari ke luar
sekolah dengan rute memutar. Pak Erik menunggu di gerbang sekolah.
“Mel, bagaima ini? sepertinya aku juga suka pak Erik. Jantungku
mulai berdebar-debar.” Ulvi mulai berlari kecil, tapi sebentar-sebentar
berhenti.
Aku jadi tak tega dan memelankan lariku untuk menjejerinya. Ria
menoleh ke belakang lalu berhenti menunggu kami. “Itu karena jantungmu lemah.”
Kataku khawatir. Keringat Ulvi sudah mulai memenuhi wajah mungilnya. Warna
putih kulitnya nampak pucat.
“Kalian lama sekali.” Tegur Vita yang sedang berjongkok menunggui
kami di belokan jalan. Kukira dia sudah jauh berlari. Ia langsung mengerti saat
melihat Ulvi.
“Kita jalan saja. Tidak usah lari lagi.” Kataku yang menggandeng
tangan Ulvi erat. Tangannya mulai dingin dan basah oleh keringat.
“Yuk, naik becak saja.” Cetus Ria kemudian.
Kring..Kring..Kring
Suara keras becak yang berada di
belakang kami menyuruh untuk merapat minggir. Lita, Eli dan Ririn duduk manis
bergaya sok tuan putri. Padahal mana ada putri naiknya becak?
Menghilang. Becak itu berlalu
meninggalkan senyum sinis Lita dan juluran lidah bernada mengejek dari Ririn
saat berpapasan tadi. Kami sudah melewati gang kecil dan kini berjalan di
antrara hiruk-pikuk jalan raya. Aku melambaikan tanganku saat berpapasan dengan
sebuah angkutan umum.
“Yuk, masuk. Naik ini aja dijamin lebih cepat sampai.”
Vita tidak protes. Kami berdua memapah Ulvi untuk naik. Ria
takut-takut melangkahkan kaki, mungkin ini pertama kalinya.
Akhirnya kami sampai juga di gerbang
sekolah. Saat kami baru akan duduk menggelosor, Lita dkk baru saja sampai.
Wajah Lita basah seperti diguyur air lalu tiba-tiba saja pingsan di depan pak
Erik. Pak Erik langsung membopongnya. Saat mereka melewati kami aku melihat
Lita yang masih terpejam tersenyum samar. Dua dayangnya mengikuti di belakang.
Dengan santai Eli meneguk air yang tinggal separuh dari botol mineral yang
dibawanya.
Uh, pura-pura..
“Norak sekali berakting seperti itu.” Kata Vita marah. “Kurasa
sebenarnya pak Erik tahu. Semua orang juga tahu. Terlalu dibuat-buat.”
Kali ini suara Vita pelan, tapi aku bisa mendengarnya. Tidak
mungkin. Pak Erik pasti tidak tahu, kalau tahu
aku yakin ia akan langsung marah. Apa.. apa pak Erik suka Lita?
Bukk..
Pikiranku masih berkecamuk ketika ada beban yang mengenai lenganku.
Ulvi pingsan. Kami bertiga panik. Tidak ada siapa pun. Teman-teman lain sudah
beristirahat.
“Biar kubantu.”
Entah darimana tanpa diminta seorang laki-laki yang juga berpakaian
olahraga langsung mengangkat tubuh Ulvi menuju UKS dengan kami bertiga
mengikuti di belakangnya. Saat di pintu UKS kami berpapasan dengan Lita yang
sudah sadar dari ‘pingsannya’ berjalan di samping pak Erik. Mereka berdua
tampak akrab. Pak Erik beberapa kali tersenyum.
“Makasih kak.” Kata Vita saat Ulvi sudah dibaringkan di atas
ranjang.
“Sama-sama. Panggil Sam saja.” Katanya ramah.
Aku hanya menatap wajah itu sekilas.
Berusaha tersenyum sebagai ucapan terima kasih telah menolong Ulvi. Hmm,
wajahnya bersih dan terlihat cool. Jika Ulvi tidak sedang pingsan matanya pasti
akan langsung berbinar-binar ketika dibopong. Ah, apa justru akan pingsan
sekali lagi?
“Makanlah. wajahmu pucat. Jangan sampai kamu juga ikut pingsan.”
Seseorang menyodorkan kantong
plastik yang berisi beberapa bungkus roti dan sebotol air mineral. Sam. Rupanya
dia pergi untuk membeli ini kemudian kembali lagi. Aku mengambil sebungkus roti
dari tangannya dan mengucapkan terima kasih. Ria tanpa malu-malu membawa
sekantong plastik hitam itu dan membaginya
dengan Vita.
“Sam baik bukan?” tanya Vita padaku ketika Sam keluar dari UKS
setelah berpamitan. “Sebenarnya aku tidak setuju kamu menyukai pak Erik. Sam
jauh lebih baik.”
Dahiku mengernyit menatap Vita. Apa
maksudnya? Vita mengangkat bahu.
***
Enam bulan kemudian..
Pak Han sudah sembuh otomatis pak
Erik sudah tidak mengajar di sekolah ini lagi. Lita, entahlah apa mereka masih
menjalin hubungan? dari gosip yang beredar kabarnya pak Erik dan Lita
sempat berpacaran tapi kemudian putus tepat setelah pak Erik tidak lagi
mengajar.
“Maaf, kamu bosan menunggu?” tanya Sam
mengahampiri kemudian langsung duduk di sebelahku.
Kugelengkan kepala tersenyum padanya, mengambil tisu lalu mengusap
keringat yang memenuhi wajahnya. “Aku tidak pernah bosan melihatmu bertanding.
Permainan basketmu keren.” Kataku jujur.
Sam berhenti memandangku saat matanya tertuju pada secarik kertas
yang terlipat dua tergeletak di tanah tak jauh dariku. Ia memungutnya. Membuka
perlahan.
“Hmm, gambar laki-laki memegang bola. Kamu menggambarku?”
Deg.. kertas itu. Pasti terjatuh dari tas saat aku mencari-cari
tisu tadi. Sam terdiam sebentar yang membuatku sangat merasa bersalah.
“Boleh kusimpan ini?” tanyanya santai.
“Tunggu..Biar..biar sedikit kutebalkan alisnya..” Aku meraih kertas
itu, tapi Sam merebut kembali. “top..topinya biar kuhilangkan.” Aku berusaha
menggapai-gapai kertas itu tapi ia tidak memberikannya.
“Aku tahu, ini bukan aku.” Suaranya lemah. “Aku saja yang simpan
supaya kamu tidak perlu melihat dan
mengingatnya.”
Diam. Aku menatap mata Sam lekat sebagai
isyarat aku tidak menyukai sikapnya.
Ada segurat kecewa yang kutemukan. Perlahan jemari tangannya mengulurkan kertas
itu padaku. Kuterima kertas yang terlipat itu dengan tak
perlu membukanya lagi. Aku merobeknya tanpa ragu. Membiarkan angin menerbangkan
puing-puing kecil itu hingga menghilang.
Siapa bilang aku masih mengingatnya? aku bahkan sudah lupa dimana
kertas itu kusimpan, tapi malah ditemukan oleh Sam. Kini aku sadar kalau
perasaanku dulu hanya rasa kagum, bukan cinta.
“I love you too.” Kulihat senyum merekah di bibir Sam.
No comments:
Post a Comment