Search This Blog

Tuesday, November 10, 2015

Cintaku Kepentok Bola


gambar Via kompasiana.com
Setiap kita pasti pernah jatuh cinta. Perasaan aneh itu tiba-tiba saja hadir saat seragamku putih abu-abu. Tanpa persiapan. Aku yang tak tahu beda kekaguman dan cinta. Sampai akhirnya seseorang membawa cinta sederhana yang dengan mudah kupahami. Apa sih cinta menurut kalian? Menurutku cinta memiliki energi yang bisa mengubah banyak hal, seperti : Membuatku dapat melihat jalan yang semula buntu, menghilangkan kebencianku pada sesuatu.
“Ayo cepat, kita sudah terlambat.” Vita menggiring kami yang berjalan malas dari ruang ganti.
“Hei, hei Ulvii.. bukan kesana.” Kutarik lengan Ulvi berbelok ke kanan menuju lapangan.
“Kukira kita akan ke kantin dulu. Pak Han juga sering telat.”
“Ide yang bagus. Ayo!” Ria bersemangat.
Benar juga. “Tunggu apa lagi.” Kami bertiga sudah akan berbalik saat Vita dengan sigap merentangkan tangannya.
“Eh, eh.. tidak ada ke kantin. Yang ada istirahat itu setelah olahraga.” Katanya galak. Mata Vita yang melotot dibalik kacamatanya membuat wajahku mengkerut. Ria dan Ulvi langsung diam mengikuti Vita ke lapangan.
“Bukannya kamu paling benci olahraga.” Kataku yang berjalan menyiput di belakangnya. Kami sudah hampir sampai. Mataku tertuju pada segerombolan anak-anak berkaus biru, sama dengan yang kukenakan.
“Aku memang benci olahraga, tapi aku lebih benci nilai jelek.” Katanya mantap.
“Baik. Anak-anak perkenalkan nama saya Erik Ardiansyah..”
Kami sudah berada di kelompok itu dan mengambil posisi berjajar. Aku berniat merentangkan tanganku untuk mengambil jarak dari Vita dan Ulvi. Kedua tanganku sudah mengenai sikut mereka padahal aku masih belum sempurna membentuk sayap pesawat terbang. Vita melirikku gemas. Aku tidak jadi merentangkan tangan. Hanya meniru barisan di depanku.
“Kalian bisa memanggil saya pak Erik. Saya disini menggantikan pak Han yang cuti sementara waktu karena sakit.”
Terserah. Aku menutup mulutku yang mulai menguap. Kenapa kalau pelajaran olahraga aku selalu mengantuk ya? dan tidak siap. Kenapa harus sekarang? aku akan senang kalau bisa melakukan ini besok. Ah, lebih senang lagi jika tidak sama sekali. Aku benci olahraga.
“Apa sih?” tanyaku kesal pada Ulvi yang dari tadi menyenggol lenganku. Semua keluhanku buyar.
“Itu guru baru.” Katanya memasang wajah innocent dengan mata berbinar.
“Sudah tahu.” Cibirku.
Penasaran seperti apa guru baru kami, kujulurkan juga wajahku ke depan. Mata Ulvi hanya akan berbinar kalau melihat cowok cakep. Sekarang ia malah menggigit-gigit ujung jari telunjuknya dan tersenyum-senyum sendiri. Genit.
“Memangnya kenapa kalau guru ba..?”
Oh God. Mata itu.. Hidung mancung, kulit putih, tubuh tinggi atletis dengan topi di kepala. Aku melihatnya tepat saat ia tersenyum. “Si..si..sii”
“Si Erik.” Celetuk Ria bingung.
“CHOI SIWON.” Jeritku histeris seperti bertemu dengan bintang Korea idolaku.
Upss..
Semua menoleh ke arah kami. Pasti bukan ke arah kami berempat. Tepatnya hanya ke arahku. Aku tidak percaya. Apa suaraku terlalu keras? kakiku seperti tidak menapak. Langsung lemas karena malu. Teman-teman sekelas tertawa rusuh.
“ Hei. Gurunya disana. desis Vita jengkel ketika satu-dua anak masih menoleh ke arah kami. “Apa?” ia melotot dan mengancungkan kepalan tangannya.
“Ada pertanyaan?” suara pak Erik memecah keheningan.
Lita mengangkat tangannya sebelum lebih dulu membenarkan poni rambut dan merapikan kaus birunya. “Kalau boleh tahu. Berapa usia Pak Erik?” tanyanya malu-malu. Tingkahnya bahkan lebih genit dari Ulvi. Huh.. Sebal.
“Saya baru lulus kuliah dua tahun tahun yang lalu. Jadi bisa mengira-ngira sendiri kan berapa usia saya sekarang?” Jawabnya santai tak lupa membubuhkan senyum andalannya.
Aku segera menggunakan sepuluh jariku untuk menghitung. Bagaimana pun pertanyaan Lita juga penting dan sangat membatuku. Oh, usianya 25 tahun. Kulirik teman-teman perempuanku juga sedang sibuk dengan jari-jari mereka. beberapa dari mereka berbisik. 25.. 25.. Sepertinya aku punya banyak saingan.
“Hari ini kita akan berlatih voli. Untuk pemanasan lari mengelilingi lapangan ini 2x. Ayo!”
Kami semua langsung berlari. Sebentar aku menengadahkan wajahku ke atas. Silau sang surya mengenai mataku. Ada gumpalan awan putih. Entahlah, menurutku gumpalan itu berbentuk simbol hati..love. Langit sangat cerah. Aku merasa memiliki energi berlebih. Berjuta kupu-kupu rasanya sedang menyinggahi bagian hatiku. Ada yang menari-nari dipikiranku. Wajah pak Siwon. Eh, pak Erik ya.
Selesai berlari orang-orang berebutan mengambil bola yang sudah disiapkan sekeranjang penuh. Biasanya aku tidak pernah berdesak-desakkan mengambil bola seperti ini. Hanya duduk menonton. Tidak dapat juga tidak apa-apa. Sama sekali tidak menyesal.
“Eh,,eh.. Jangan dorong-dorong. Kalian semua kayak anak kecil ya. Itu bolaku..” Kataku geram meski hanya akan terdengar seperti bisikan angin diantara keriuhan lebah. Dari tadi aku susah payah mengambil bola di keranjang. Begitu dapat selalu ada yang menyerobot. Bola terakhir. Seorang anak laki-laki mengambilnya. Kerumunan seketika bubar mengetahui keranjang itu kosong. Aku berjalan gontai. Mulutku sibuk menceracau kesal.
Hanya benda kecil tidak berguna. Siapa yang butuh..”bola?” Seseorang di depanku menoleh. Pak Erik.
“Kamu tidak mendapat bola? ambil ini.” Katanya tersenyum.
Ah, jangan tersenyum. Jangan sekarang. Kalau pingsan disini aku bisa malu, juga tidak mau mabuk saat ini. Aku segera berlari kecil meninggalkan pak Erik sambil sesekali menoleh.
Vita menghampiriku dengan wajah kecewa. “Aku tidak mendapat bola.”
“Ini.” Kataku menunjukkan benda bulat yang kini sudah merekat di kedua jari-jari tanganku.
“Bagaimana kamu bisa..?”
“Mudah mendapatkannya. Aku hanya perlu bilang..bola.” Kataku bangga menaikkan sedikit alisku sambil tersenyum. Vita tidak tahu kalau pak Erik yang memberikannya cuma-cuma. Hmm, sepertinya guru baru itu mulai tertarik padaku. hehe.. sssttt
***
Pensil ditanganku masih sibuk menari dalam lembar belakang buku fisikaku.
“Hukum gravitasi newton berbunyi : dua benda di alam ini saling tarik dengan gaya yang besarnya sebanding dengan masa setiap benda dan..” Sayup-sayup kudengar pak Rudi, guru muda itu menerangkan. Tapi aku tidak berniat memperhatikan. Bosan. Perasaanku sedang tidak enak.
Kulihat anak-anak kelas sebelah memakai baju olahraga melewati depan kelasku. Rasanya aku juga ingin ikut berhambur menuju lapangan. Bertemu pak Choi Erik. Wah, alangkah senangnya.
Sudah hampir sebulan dia mengajar disini. Aku memang tetap tak pintar di bidang olahraga, tapi sekarang aku selalu menantikan pelajaran itu. Rela deh kalau pelajaran fisika ini diganti aja dengan pelajaran olahraga. Xixixi..
Sketsa yang kubuat sudah hampir selesai. Gambar seseorang memakai topi dengan membawa bola terlihat dari samping. Sedikit tidak jelas, tapi tampak tersenyum. Aku sengaja mengaburkan sekelilingnya untuk lebih menonjolkan objek.
Kupandangi gambar itu lekat-lekat. Memori otakku berputar teringat waktu itu. Saat tak kebagian bola voli pada minggu pertama dan beberapa peristiwa sesudahnya.
***
Minggu Kedua, penilaian untuk guling depan.
“Wah, kebetulan aku ngantuk udah disediain matras.” Seru Ria mendekat ke arah matras yang tergeletak di depan kami. Sebentar dia malah udah duduk disana.
“Hari ini penilaian guling depan. Kalian akan melakukannya 2x. Satu sebagai latihan dan satunya untuk penilaian.” Kata pak Erik yang tiba-tiba muncul dan langsung dikerumuni anak-anak.
“Kamu mau coba dulu?” pak Erik mendekat pada Ria yang masih duduk di matras.
“Nng..nggak pak.” Ria berwajah pucat menjauhi matras. Langsung menempel di sebelahku.
“Melda pak, mau maju dulu.” Kata Ulvi percaya diri. Aku separuh melotot ke arahnya. Separuh lagi masih kaget. Melda? aku?
“Kalau kamu suka pak Erik. Kamu harus terlihat menonjol. Ayo, Melda bisa.” Bisik Ulvi kemudian.
“Tapi.. Aku nggak bisa.” Desisku dengan mata yang benar-benar bulat sempurna karena marah.
Sejak kapan aku menjadi yang pertama saat olahraga? Biasanya aku urutan akhir. Kalau gurunya sudah malas memperhatikan, aku baru berani maju. Yah, kalau menjadi yang pertama diantara Ria dan Ulvi itu sih sering.
“Imelda, silahkan.” Kata pak Erik setelah mencontohkan terlebih dahulu.
Kupaksakan langkahku mendekat ke depan matras. Dag dig dug. Seperti dimikrofon aku bisa mendengar bunyi jantungku sendiri. Huufftt.. Aku mendesah perlahan.
Rileks, Melda. Ini bukan detik-detik menuju tiang gantungan.
“Kamu siap?” Aku mengangguk. Mulai membuat ancang-ancang.
“Hahaha.” Teman-teman tertawa riuh.
Seperti sulap tubuhku sudah terbaring di matras. Yee.. aku bisa. Tapi kenapa cepat sekali? Aku merasa belum melakukan apa pun. Kenapa juga mereka semua tertawa? membingungkan. Bahkan saat aku meninggalkan matras tawa itu masih berderai. Kutangkap pak Erik juga menahan senyum lepas.
“Apanya yang lucu?” tanyaku pada Ria yang masih terkikik.
“Wkwkwkw.. kamu guling depannya miring.” Jawabnya sambil memegangi perut. Aku menunduk. Diam.
“Tidak mengapa. Pak Erik akan mengingat ini, setidaknya kamu sudah berusaha.” Hibur Vita lembut. Matanya nampak teduh meski terperangkap kaca. Ulvi menepuk-nepuk bahuku.
Sepanjang penilaian tadi perutku seperti dikocok. Tidak putus-putus tertawa. Ternyata selain aku banyak juga yang tidak bisa. Ada yang miring ke kanan, miring ke kiri, terguling jatuh ke lantai. Ada yang sangat cepat menjungkirkan tubuh hingga tahu-tahu tidak di matras lagi malah di depan penonton bahkan ada yang sangat akrobatik bukannya jungkir malah menyundul matras dengan kaki di atas pada posisi berdiri hingga pak Erik harus membantunya untuk jatuh kalau tidak kepalanya bisa keseleo. Hihi..
***
Minggu ketiga, bermain basket.
Pertandingan basket ini berlangsung sangat seru. Jangan bayangkan seperti pertandingan basket pada umumnya yang terlihat keren mendribel bola menghindari lawan dengan berbagai trik. Jangankan memikirkan trik tipuan, mendribel saja banyak yang tidak bisa.
Seseorang yang sudah berhasil menggondol bola langsung saja berlari menuju gawang lawan. Musuh juga tidak akan tinggal diam. Merebut paksa, tarik menarik bola, saling mengunyel-unyel rambut, dan memegangi kaus penerima bola agar tidak lari.
“Qiqiqiq.. ampun..jangan..Vita..curang. Pak, Vita curang.” Kataku sambil menghindari jari-jari vita yang menggelitiki perutku.
Kuoper bola ke arah Ria. Anak itu bingung dengan serbuan teman-teman lain. Ia malah memberikannya pada Ulvi.
“Vit, aku dapat bolanya.” Teriak Ulvi Riang.
“Kenapa dilempar ke Ulvi.”
“Dia kan teman kita.”
“Ria, saat ini kita sedang bertanding.” Kuseka keringat di pelipisku. “Vita dan Ulvi bukan tim kita.” Lanjutku tak bertenaga. Dahi Ria hanya mengernyit bingung.
“Bawa sini.” Vita lebih dulu menjulurkan lidah padaku. Ia melemparkan bola ke ring. Masuk. Pak Erik meniup peluit. Waktu habis, 1-0. Kalah.
Lamunanku buyar saat Vita yang duduk di depanku menggeser bangkunya untuk maju ke depan mengerjakan soal. Aku menjentik-jentikkan jariku sebentar. Lembar buku itu kusobek dengan penggaris. Kulipat dua dan menyelipkannya di buku yang sama.
***
“Ayo, semangat teman-teman.” Kata Vita mulai berlari menjadi yang terdepan dari kami berempat. Hari ini kami ditugaskan untuk berlari ke luar sekolah dengan rute memutar. Pak Erik menunggu di gerbang sekolah.
“Mel, bagaima ini? sepertinya aku juga suka pak Erik. Jantungku mulai berdebar-debar.” Ulvi mulai berlari kecil, tapi sebentar-sebentar berhenti.
Aku jadi tak tega dan memelankan lariku untuk menjejerinya. Ria menoleh ke belakang lalu berhenti menunggu kami. “Itu karena jantungmu lemah.” Kataku khawatir. Keringat Ulvi sudah mulai memenuhi wajah mungilnya. Warna putih kulitnya nampak pucat.
“Kalian lama sekali.” Tegur Vita yang sedang berjongkok menunggui kami di belokan jalan. Kukira dia sudah jauh berlari. Ia langsung mengerti saat melihat Ulvi.
“Kita jalan saja. Tidak usah lari lagi.” Kataku yang menggandeng tangan Ulvi erat. Tangannya mulai dingin dan basah oleh keringat.
“Yuk, naik becak saja.” Cetus Ria kemudian.
Kring..Kring..Kring
Suara keras becak yang berada di belakang kami menyuruh untuk merapat minggir. Lita, Eli dan Ririn duduk manis bergaya sok tuan putri. Padahal mana ada putri naiknya becak?
Menghilang. Becak itu berlalu meninggalkan senyum sinis Lita dan juluran lidah bernada mengejek dari Ririn saat berpapasan tadi. Kami sudah melewati gang kecil dan kini berjalan di antrara hiruk-pikuk jalan raya. Aku melambaikan tanganku saat berpapasan dengan sebuah angkutan umum.
“Yuk, masuk. Naik ini aja dijamin lebih cepat sampai.”
Vita tidak protes. Kami berdua memapah Ulvi untuk naik. Ria takut-takut melangkahkan kaki, mungkin ini pertama kalinya.
Akhirnya kami sampai juga di gerbang sekolah. Saat kami baru akan duduk menggelosor, Lita dkk baru saja sampai. Wajah Lita basah seperti diguyur air lalu tiba-tiba saja pingsan di depan pak Erik. Pak Erik langsung membopongnya. Saat mereka melewati kami aku melihat Lita yang masih terpejam tersenyum samar. Dua dayangnya mengikuti di belakang. Dengan santai Eli meneguk air yang tinggal separuh dari botol mineral yang dibawanya.
Uh, pura-pura..
“Norak sekali berakting seperti itu.” Kata Vita marah. “Kurasa sebenarnya pak Erik tahu. Semua orang juga tahu. Terlalu dibuat-buat.”
Kali ini suara Vita pelan, tapi aku bisa mendengarnya. Tidak mungkin. Pak Erik pasti tidak tahu, kalau tahu aku yakin ia akan langsung marah. Apa.. apa pak Erik suka Lita?
Bukk..
Pikiranku masih berkecamuk ketika ada beban yang mengenai lenganku. Ulvi pingsan. Kami bertiga panik. Tidak ada siapa pun. Teman-teman lain sudah beristirahat.
“Biar kubantu.”
Entah darimana tanpa diminta seorang laki-laki yang juga berpakaian olahraga langsung mengangkat tubuh Ulvi menuju UKS dengan kami bertiga mengikuti di belakangnya. Saat di pintu UKS kami berpapasan dengan Lita yang sudah sadar dari ‘pingsannya’ berjalan di samping pak Erik. Mereka berdua tampak akrab. Pak Erik beberapa kali tersenyum.
“Makasih kak.” Kata Vita saat Ulvi sudah dibaringkan di atas ranjang.
“Sama-sama. Panggil Sam saja.” Katanya ramah.
Aku hanya menatap wajah itu sekilas. Berusaha tersenyum sebagai ucapan terima kasih telah menolong Ulvi. Hmm, wajahnya bersih dan terlihat cool. Jika Ulvi tidak sedang pingsan matanya pasti akan langsung berbinar-binar ketika dibopong. Ah, apa justru akan pingsan sekali lagi?
“Makanlah. wajahmu pucat. Jangan sampai kamu juga ikut pingsan.”
Seseorang menyodorkan kantong plastik yang berisi beberapa bungkus roti dan sebotol air mineral. Sam. Rupanya dia pergi untuk membeli ini kemudian kembali lagi. Aku mengambil sebungkus roti dari tangannya dan mengucapkan terima kasih. Ria tanpa malu-malu membawa sekantong plastik hitam itu dan membaginya dengan Vita.
“Sam baik bukan?” tanya Vita padaku ketika Sam keluar dari UKS setelah berpamitan. “Sebenarnya aku tidak setuju kamu menyukai pak Erik. Sam jauh lebih baik.”
Dahiku mengernyit menatap Vita. Apa maksudnya? Vita mengangkat bahu.
***
Enam bulan kemudian..
Pak Han sudah sembuh otomatis pak Erik sudah tidak mengajar di sekolah ini lagi. Lita, entahlah apa mereka masih menjalin hubungan? dari gosip yang beredar kabarnya pak Erik dan Lita sempat berpacaran tapi kemudian putus tepat setelah pak Erik tidak lagi mengajar.
“Maaf, kamu bosan menunggu?” tanya Sam mengahampiri kemudian langsung duduk di sebelahku.
Kugelengkan kepala tersenyum padanya, mengambil tisu lalu mengusap keringat yang memenuhi wajahnya. “Aku tidak pernah bosan melihatmu bertanding. Permainan basketmu keren.” Kataku jujur.
Sam berhenti memandangku saat matanya tertuju pada secarik kertas yang terlipat dua tergeletak di tanah tak jauh dariku. Ia memungutnya. Membuka perlahan.
“Hmm, gambar laki-laki memegang bola. Kamu menggambarku?”
Deg.. kertas itu. Pasti terjatuh dari tas saat aku mencari-cari tisu tadi. Sam terdiam sebentar yang membuatku sangat merasa bersalah.
“Boleh kusimpan ini?” tanyanya santai.
“Tunggu..Biar..biar sedikit kutebalkan alisnya..” Aku meraih kertas itu, tapi Sam merebut kembali. “top..topinya biar kuhilangkan.” Aku berusaha menggapai-gapai kertas itu tapi ia tidak memberikannya.
“Aku tahu, ini bukan aku.” Suaranya lemah. “Aku saja yang simpan supaya kamu tidak  perlu melihat dan mengingatnya.”
Diam. Aku menatap mata Sam lekat sebagai isyarat aku tidak menyukai sikapnya. Ada segurat kecewa yang kutemukan. Perlahan jemari tangannya mengulurkan kertas itu padaku. Kuterima kertas yang terlipat itu dengan tak perlu membukanya lagi. Aku merobeknya tanpa ragu. Membiarkan angin menerbangkan puing-puing kecil itu hingga menghilang.
Siapa bilang aku masih mengingatnya? aku bahkan sudah lupa dimana kertas itu kusimpan, tapi malah ditemukan oleh Sam. Kini aku sadar kalau perasaanku dulu hanya rasa kagum, bukan cinta.

“I love you too.” Kulihat senyum merekah di bibir Sam. 

No comments:

Post a Comment