via google.co.id
Angin sore perlahan menyentuh kulit Ranto. Menemaninya memikirkan apa saja yang sedang Ranto pikirkan. Ranto memandang foto Ranti yang tersenyum manis terpajang di dinding kamarnya. Beberapa foto mereka berdua juga ikut tampil memeriahkan ruangan sempit itu. Ranti terlihat cantik di setiap foto yang terpajang di dinding ruang itu.
Ranto
mengambil salah satu foto berbingkai itu. Di tatapnya lekat-lekat gambar mereka
berdua saat masih memakai seragam putih abu-abu. Ada foto mereka berdua yang
sedang berboncengan duduk di sepeda motor.
Kenangan-kenangan
selama tujuh tahun itu masih tak henti terputar dipikirannya. Ia masih ingat
gadis lugu yang di temuinya pertama kali saat SMA. Ranti yang sangat polos
waktu itu dengan pakaian seragam yang sedikit kebesaran. Gadis itu sangat
menaati peraturan sekolah.
***
Pagi
itu ia terlambat ke sekolah. Itu bukan kali pertama ia terlambat,tapi juga
tidak bisa dibilang sering. Alasannya memang klasik seperti siswa lainnya.
Kesiangan. Sebenarnya tidak terlalu benar juga.
Ranto
sudah bangun sejak pagi-pagi sekali. Melakukan olah raga pagi ketika mentari
bahkan belum menampakkan cahayanya. Pagi itu udara begitu dingin. Entah kenapa
tubuhnya seperti berjalan sendiri kembali ke kasur saat ia selesai berolah
raga. Merapatkan selimut hangatnya kembali. Tidak membiarkan udara dingin
mengusiknya. Ia terlelap.
Ranto
berbaris di antara siswa lain yang terlambat seperti dirinya. Seorang siswi di
sebelahnya tersenyum-senyum sendiri. Mematuk-matukkan kakinya yang bersepatu ke
tanah yang lembap di bawahnya seperti sedang tersipu entah malu atau bahagia.
Mencuri pandang ke arahnya lalu menunduk dan melakukan hal itu berulang-ulang. Bukan
hanya gadis itu,tapi gadis di sebelahnya dan seterusnya juga melakukan hal yang
sama. Mengherankan sekali,hari ini banyak sekali anak perempuan yang terlambat.
Ranto tetap bersikap tak acuh dan tidak menganggap penting adegan aneh itu.
Sinar
matahari sayup-sayup jatuh di atas kepalanya. Rambutnya berkilau di bawah sinar
itu. Kulitnya yang terang semakin tampak menawan dan terlihat bersih. Ranto
menegakkan kepala menantang mentari. Saat itu juga Ranto sadar seseorang kini
berdiri di sampingnya yang sejak tadi kosong. Ranto sedikit melirik. Perempuan
lagi. Gadis itu lebih terlambat darinya.
Ranto
mengamati diam-diam gadis dengan rambut panjang sepinggul yang diikat rapi.
Gadis itu tampak panik dan sering menundukkan kepalnya. Pemandangan yang
berbeda dengan gadis yang berada di sebelah kirinya. Kini Ranto berada di
antara dua gadis dengan tingkah yang berbeda. Ah,tidak. Gadis di sebelah
kirinya sama saja dengan gadis-gadis lainya,hanya gadis di sebelah kanannya
yang berbeda.
Belum
lama Ranto mengamati gadis itu,barisan sudah dibubarkan. Kini saatnya mereka
menjalani hukuman. Entah kenapa alam sepertinya mendukung Ranto untuk bisa lebih dekat dengan gadis itu. Mereka
mendapatkan hukuman yang sama. Mengumpulkan daun-daun kering yang berserakan di
sekitar aula sekolah. Para siswa lainnya kini berpencar mengerjakan tugas masing-masing.
Dengan malas-malasan mengambil sapu dan menyapu sekitar halaman tanpa peduli
sapuannya bersih atau pun tidak.
Ranto
tertegun dan berhenti sejenak. Ia masih berdiri di tempatnya ketika dilihatnya
gadis itu berlari setelah membenarkan ikatan rambut panjangnya menjadi diikat
pendek supaya lebih leluasa bergerak. Mengumpulkan daun-daun yang berserakan
dengan jari-jarinya yang lentik. Dalam sekejap gadis itu sudah menggenggam daun
yang terlihat penuh di tangannya lalu berlari ke tong sampah. Kemudian dengan
secepat kilat berjongkok memunguti daun kering lagi dan berlari ke tong
sampah,begitu seterusnya. Ranto berpikir gadis itu bahkan sampai tidak sempat
bernapas.
Saat
itu Ranto hanya mengumpulkan beberapa daun yang tidak terlalu penuh di tangan
besarnya dan dengan malas-malasan membuang daun-daun itu ke tong sampah. Entah sudah
berapa kali ia melihat gadis itu bolak-balik mengitari aula dan tong sampah. Ia
tidak menghitung. Kepalanya berdenyut-denyut menyaksikan ulah gadis itu.
Ranto
berpikir sejenak. Gadis itu kelihatan gugup. Ada sedikit keringat di keningnya
yang terang. Cahaya matahari memantulkan sinarnya pada gadis itu. Kini wajah
gadis itu tampak bersinar terang seperti matahari. Ia memiliki aura matahari.
Gadis matahari. Tepatnya gadis matahari yang sedang panik karena sesuatu hal
yang tidak Ranto mengerti. Ia melihat tangan gadis itu sedikit bergetar saat
memungut daun-daun.
Ranto
menghentikan aktifitasnya mengamati gadis itu setelah tahu siswa-siswa lainnya
sudah selesai. Dari tadi ia memang lebih banyak mengamati gadis di dekatnya
dari pada memunguti daun-daun. Melihat orang lain memungut daun lebih
menyenangkan dari pada memungut sendiri. Ranto diam-diam tersenyum menyaksikan
gadis itu tetap sibuk dengan aktifitasnya. Tidak terusik dengan kehadiran
Ranto. Seolah ia hanya sendiri di tempat itu. Asyik sendiri dengan dunianya
entah menikmati atau tidak.
Ia mendekat pada gadis itu dan
berdiri tidak jauh darinya. “ Ayo, yang lain udah selesai.” Kata
Ranto singkat. Baru kali ini ia sedikit gugup di depan seorang gadis.
Gadis
di sebelahnya itu sesaat menghentikan kegiatannya memungut daun-daun begitu
mendengar suara Ranto. Tapi kemudian ia melanjutkan pekerjaannya kembali. “
Aduh, masih banyak daun-daun
berserakan di tempat ini.” Suara gadis itu panik setengah mengeluh. Ia terlihat
takut.
No comments:
Post a Comment