Search This Blog

Wednesday, November 11, 2015

Satu Waktu Ketika Hatimu Pergi (Season 2)

via google.co.id

Angin sore perlahan menyentuh kulit Ranto. Menemaninya memikirkan apa saja yang sedang Ranto pikirkan. Ranto memandang foto Ranti yang tersenyum manis terpajang di dinding kamarnya. Beberapa foto mereka berdua juga ikut tampil memeriahkan ruangan sempit itu. Ranti terlihat cantik di setiap foto yang terpajang di dinding ruang itu.
Ranto mengambil salah satu foto berbingkai itu. Di tatapnya lekat-lekat gambar mereka berdua saat masih memakai seragam putih abu-abu. Ada foto mereka berdua yang sedang berboncengan duduk di sepeda motor.
Kenangan-kenangan selama tujuh tahun itu masih tak henti terputar dipikirannya. Ia masih ingat gadis lugu yang di temuinya pertama kali saat SMA. Ranti yang sangat polos waktu itu dengan pakaian seragam yang sedikit kebesaran. Gadis itu sangat menaati peraturan sekolah.
***
Pagi itu ia terlambat ke sekolah. Itu bukan kali pertama ia terlambat,tapi juga tidak bisa dibilang sering. Alasannya memang klasik seperti siswa lainnya. Kesiangan. Sebenarnya tidak terlalu benar juga.
Ranto sudah bangun sejak pagi-pagi sekali. Melakukan olah raga pagi ketika mentari bahkan belum menampakkan cahayanya. Pagi itu udara begitu dingin. Entah kenapa tubuhnya seperti berjalan sendiri kembali ke kasur saat ia selesai berolah raga. Merapatkan selimut hangatnya kembali. Tidak membiarkan udara dingin mengusiknya. Ia terlelap.
Ranto berbaris di antara siswa lain yang terlambat seperti dirinya. Seorang siswi di sebelahnya tersenyum-senyum sendiri. Mematuk-matukkan kakinya yang bersepatu ke tanah yang lembap di bawahnya seperti sedang tersipu entah malu atau bahagia. Mencuri pandang ke arahnya lalu menunduk dan melakukan hal itu berulang-ulang. Bukan hanya gadis itu,tapi gadis di sebelahnya dan seterusnya juga melakukan hal yang sama. Mengherankan sekali,hari ini banyak sekali anak perempuan yang terlambat. Ranto tetap bersikap tak acuh dan tidak menganggap penting adegan aneh itu.
Sinar matahari sayup-sayup jatuh di atas kepalanya. Rambutnya berkilau di bawah sinar itu. Kulitnya yang terang semakin tampak menawan dan terlihat bersih. Ranto menegakkan kepala menantang mentari. Saat itu juga Ranto sadar seseorang kini berdiri di sampingnya yang sejak tadi kosong. Ranto sedikit melirik. Perempuan lagi. Gadis itu lebih terlambat darinya.
Ranto mengamati diam-diam gadis dengan rambut panjang sepinggul yang diikat rapi. Gadis itu tampak panik dan sering menundukkan kepalnya. Pemandangan yang berbeda dengan gadis yang berada di sebelah kirinya. Kini Ranto berada di antara dua gadis dengan tingkah yang berbeda. Ah,tidak. Gadis di sebelah kirinya sama saja dengan gadis-gadis lainya,hanya gadis di sebelah kanannya yang berbeda.
Belum lama Ranto mengamati gadis itu,barisan sudah dibubarkan. Kini saatnya mereka menjalani hukuman. Entah kenapa alam sepertinya mendukung Ranto untuk bisa  lebih dekat dengan gadis itu. Mereka mendapatkan hukuman yang sama. Mengumpulkan daun-daun kering yang berserakan di sekitar aula sekolah. Para siswa lainnya kini berpencar mengerjakan tugas masing-masing. Dengan malas-malasan mengambil sapu dan menyapu sekitar halaman tanpa peduli sapuannya bersih atau pun tidak.
Ranto tertegun dan berhenti sejenak. Ia masih berdiri di tempatnya ketika dilihatnya gadis itu berlari setelah membenarkan ikatan rambut panjangnya menjadi diikat pendek supaya lebih leluasa bergerak. Mengumpulkan daun-daun yang berserakan dengan jari-jarinya yang lentik. Dalam sekejap gadis itu sudah menggenggam daun yang terlihat penuh di tangannya lalu berlari ke tong sampah. Kemudian dengan secepat kilat berjongkok memunguti daun kering lagi dan berlari ke tong sampah,begitu seterusnya. Ranto berpikir gadis itu bahkan sampai tidak sempat bernapas.
Saat itu Ranto hanya mengumpulkan beberapa daun yang tidak terlalu penuh di tangan besarnya dan dengan malas-malasan membuang daun-daun itu ke tong sampah. Entah sudah berapa kali ia melihat gadis itu bolak-balik mengitari aula dan tong sampah. Ia tidak menghitung. Kepalanya berdenyut-denyut menyaksikan ulah gadis itu.
Ranto berpikir sejenak. Gadis itu kelihatan gugup. Ada sedikit keringat di keningnya yang terang. Cahaya matahari memantulkan sinarnya pada gadis itu. Kini wajah gadis itu tampak bersinar terang seperti matahari. Ia memiliki aura matahari. Gadis matahari. Tepatnya gadis matahari yang sedang panik karena sesuatu hal yang tidak Ranto mengerti. Ia melihat tangan gadis itu sedikit bergetar saat memungut daun-daun.
Ranto menghentikan aktifitasnya mengamati gadis itu setelah tahu siswa-siswa lainnya sudah selesai. Dari tadi ia memang lebih banyak mengamati gadis di dekatnya dari pada memunguti daun-daun. Melihat orang lain memungut daun lebih menyenangkan dari pada memungut sendiri. Ranto diam-diam tersenyum menyaksikan gadis itu tetap sibuk dengan aktifitasnya. Tidak terusik dengan kehadiran Ranto. Seolah ia hanya sendiri di tempat itu. Asyik sendiri dengan dunianya entah menikmati atau tidak.
Ia mendekat pada gadis itu dan berdiri tidak jauh darinya. “ Ayo, yang lain udah selesai.” Kata Ranto singkat. Baru kali ini ia sedikit gugup di depan seorang gadis.

Gadis di sebelahnya itu sesaat menghentikan kegiatannya memungut daun-daun begitu mendengar suara Ranto. Tapi kemudian ia melanjutkan pekerjaannya kembali. “ Aduh, masih banyak daun-daun berserakan di tempat ini.” Suara gadis itu panik setengah mengeluh. Ia terlihat takut.

No comments:

Post a Comment