Search This Blog

Friday, July 22, 2016

Pita Biru dari Ibu

Jika menghitung orang yang telah berjasa untuk hidupku maka akan mucul beberapa nama. Namun orang yang paling berjasa dan dihadiahkan Tuhan selalu bersamaku di bumi ini bernama ibu. Ibulah malaikatku.
Aku hidup di keluarga yang cukup besar dengan banyak anak. Kebutuhan hidup yang harus dipenuhi memaksa ibu turut bekerja membantu ayah,meski begitu ibu masih bisa mengurus kegiatan rumah tangga dengan baik. Mengatur dengan cermat ekonomi keuangan keluarga sehingga kami semua dapat sekolah. Aku tidak merasa kekurangan kasih sayang karena ibu tidak membagi kasihnya pada 10 anak,tapi ia mencintai kami semua dengan sempurna.
“ Ayo, Maya. Berangkat sekolah dengan kakakmu.” Kata ibu setelah mengucir rambutku menjadi dua bagian dengan pita biru. Kemudian mengalungkan bekal minuman di leherku, sementara adikku menggelayut manja di kakinya.
Aku masih menyimpan memory itu. Saat dimana aku masih duduk di taman kanak-kanak. Juga pita biru favoritku yang selalu ibu pasangkan di rambutku. Ibu selalu menyiapkan segala keperluanku. Memastikan bahwa anak-anaknya sarapan sebelum ke sekolah. Meski ada banyak pekerjaan lain yang harus ia kerjakan,tapi dia selalu menomor satukan  kami.
Tentu saja sebagai anak kecil terkadang aku melakukan hal-hal yang membuatnya sulit. Mulai dari susah bangun,merajuk tiba-tiba,tapi ibu tidak pernah mengizinkanku untuk bolos sehingga aku harus pergi ke sekolah seterlambat apapun dan ia sendiri yang akan mengantarku.

***
Sosok ibu untukku bukan hanya wanita yang selalu memancarkan kasihnya. Ibu tidak hanya mampu melindungiku,tapi juga mengajariku untuk selalu maju. Ia mendorongku untuk meraih masa depan.
Saat aku mengetahui banyak hal dengan bantuan guru-guruku di sekolah. Ingatanku berpacu cepat pada wanita paruh baya yang dengan sabar mengenalkanku pada huruf-huruf yang tidak kumengerti sebelumnya. Membantuku membaca dengan mulai dari mengeja. Membimbing tanganku untuk menulis.
Ketika aku mulai disibukkan dengan mempelajari rumus dan rasa senang yang mekar di hatiku karena bisa menguasai ilmu eksak. Kulihat bayang-bayang angka sederhana menari di pikiranku. Mengingatkanku tentang buku lusuh dengan warna yang telah menguning kecoklatan. Serta suara seseorang yang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjelaskan matematika sederhana. Hanya tentang penjumlahan,pengurangan,perkalian dan pembagian.
Ibuku bukan menteri pendidikan,tapi ia selalu memperhatikan itu. Pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Pasti bukan hal yang mudah memutar uang untuk keperluan hidup dan sekolah kami.

Via dokumen pribadi


“Saat sebuah ijazah tergenggam, itu untukmu ibu.”
Langit senja masih memayungiku saat aku sedang termenung duduk di teras rumah. Menghirup udara sore perlahan  dengan kedamaian. Teringat tentang wajah penuh kasih dari ibu. Senyumnya yang selalu menemaniku dan tak pernah lekang oleh waktu. Menyertai pertumbuhan dari seorang gadis kecil menjadi wanita dewasa yang tak hanya ingin bergantung pada orang lain. Seseorang yang selalu berjuang untuk kebahagiaanku. Seseorang yang mengajariku banyak hal,yang selalu ada untukku dan yang selalu kubutuhkan hadirnya.
Aku menyandarkan punggungku lebih dalam di kursi dan memejamkan mata perlahan. Sketsa wajah itu begitu teduh,bayang senyumnya mampu mendamaikanku.
Ibu..
 kau telah memberikan segalanya untukku. Kau yang selalu menemaniku, menguatkanku dan mendukung langkahku. Aku selalu ingat moment itu,saat aku berangkat sekolah untuk pertama kalinya kau yang tersenyum bahagia mengatakan hal-hal menarik tentang sekolah,menyiapkan segala keperluanku dan dengan cekatan menata rambutku lalu mengikatnya dengan pita biru.




No comments:

Post a Comment