Via rzsuper1924.blogspot.com
Aku masih terduduk di bebatuan.
Menatap dengan kagum segala yang terbentang di hadapanku. Kakiku memainkan butiran
pasir yang ada di bawah. Seseorang di sampingku hanya diam mematung dan aku
sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku menoleh saat sadar sepasang mata
memperhatikanku, ia tersenyum. Aku pun membalas senyumnya dengan wajah ceria.
Setelah itu aku menarik lengannya
untuk mendekat ke bibir pantai. Kami membuat bangunan megah dari pasir dan meninggalkannya,
membiarkan saja ombak melahap istana kami. Kami pun berjalan menusuri pantai.
Aku mengajaknya mengobrol di sepanjang jalan, tapi ia lebih sering terdiam
mendengarkan. Sesekali aku bisa menangkap matanya yang memandang ke arahku.
Aku mulai terdiam mengikuti
langkahnya. Ia menggenggam tanganku dan merapatkan tubuhnya lebih dekat.
Semilir angin meniup rambut kami yang seakan melambai. Aku menghirup napas
dalam-dalam serta mengatur degup jantungku yang kurasa bekerja lebih cepat jika
di dekatnya.
Langkahku terhenti. Kubentangkan
tanganku ke udara. guyuran ombak mengalun menerpa kakiku. Mata kami menatap
langit jingga yang menyelimuti pemandangan indah ini. Memandang Burung-burung
yang terbang rendah kembali ke sarangnya. Rasanya seperti menikmati sebuah
lukisan terbesar di dunia. Senja memang indah. Kami berdua menyukai senja.
Kulihat senja di tempat yang sama
saat kami bertemu untuk pertama kalinya. Saat itu usiaku 8 tahun, aku sedang
membuat istana pasir yang tak begitu jauh dari bibir pantai. Aku begitu senang
saat istanaku hampir jadi dan berniat memberitahukan ayah yang duduk di
bebatuan tak jauh dariku.
Kekagetanku muncul ketika melihat
anak laki-laki dengan bola yang menghancurkan bangunan istanaku. Ia memungut
bolanya dan menyisakan istana pasirku yang rubuh. Aku segera berlari mendekat,
mataku menatap tajam ke arahnya. Sebelum aku sempat membuka mulut, bolanya
terjatuh menggelinding. Ia tidak berbicara apa pun dan segera memperbaiki
bangunan itu dengan gugup. Dari caranya kupikir ia belum pernah membuat istana
pasir sebelumnya. Jadi aku membantunya memperbaiki.
Tak terasa 14 tahun waktu bergulir,
kini ia menjadi orang yang teramat kucintai dalam hidup ini. Pria yang berdiri
disampingku sekarang sedikit berbeda dengan anak laki-laki yang kutemui dulu.
Dia sangat pintar membuat bangunan bahkan tidak hanya dari bahan pasir. Ia
seorang arsitek.
Aku merangkulkan tanganku ke
lehernya dan mengatakan kalau aku merasa senang ia telah membawaku kesini. Ia
tersenyum memelukku. Langit senja menjadi saksi ketika ia melingkarkan sebuah
cincin di jariku.
No comments:
Post a Comment