Search This Blog

Thursday, August 10, 2017

Hati yang Memintaku Menanti (Season 2)

gambar Via pixabay.com

Dian terkikik mendengar pengakuan Nia. Rupanya hanya masalah itu yang di pikirkan sahabatnya. Nia memang suka melebih-lebihkan sesuatu. “ Tentu saja. Memangnya kalian sudah tidak bertemu berapa abad?” Dian kembali tertawa.
Nia melemparkan bantalnya dengan gemas ke arah Dian. Bagus. Di saat begini dia masih bisa tertawa. “ Oh,, oh.. Lucu sekali.” Nia cemberut.
“ Tak kan banyak yang berbeda dalam lima tahun. Kamu masih seperti Nia yang dulu. Kevin juga begitu. Jangan pikirkan hal-hal konyol lagi. Tidak lama lagi kamu juga akan bertemu dengan Kevin.” Kata Dian sembari membantu merias wajah Nia.
Nia memandang bayangan dirinya di cermin. Wajah cantiknya terpantul disana. Ia menyunggingkan senyumnya. tampak lesung di pipi sebelah kanan dan giginya yang terlihat berderet putih rapi. Rambutnya yang hitam panjang ia biarkan tergerai. Setelahnya semua siap, Nia mengendarai mobilnya menuju ke sebuah kafe tempat ia dan Kevin sepakat bertemu.
Ia datang lebih awal, Kevin belum terlihat diantara pengunjung yang memadati area kafe malam ini. Nia memilih duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dari pintu. Ia berpikir akan mudah menemukan sosok kevin dan langsung menyadari kehadiran Kevin jika pria itu datang.
suasana kafe tampak ramai di penuhi oleh para pasangan lainnya. Matanya menyapu seluruh ruangan itu. Para pelayan dengan teliti mencatat pesanan dan ada juga yang bolak-balik membawa makanan atau pun gelas-gelas kosong bekas pengunjung. Ia belum memesan apa pun. Hanya menimbang-nimbang beberapa pilihan menu dan sibuk mencari sosok Kevin.
Tak lama setelah itu, seorang pria dengan kemeja biru muda menghampiri tempat duduknya. Pria itu Kevin. Nia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Seseorang yang akhir-akhir ini hanya bisa ditemuinya dalam mimpi. Ia hanya bisa menyapa bayangan Kevin dalam malam-malam panjangnya. Dalam derai air matanya yang memuncak saat merindukan sosok itu.
Kini wajah di depannya itu Kevin. Wajah tampan itu dengan senyum yang selalu ia rindukan. Senyum yang selalu dapat membuatnya nyaman dan mendamaikan hatinya. Pria itu seolah berbisik bahwa segalanya akan baik-baik saja
“ Hai, Nia.” Kevin menggeser kursi ke belakang dan duduk di depan Nia. Mata Kevin terpaku pada mata Nia begitu pula sebaliknya. Mereka berdua berpandangan merasakan waktu yang seolah terhenti.
“Hai, Kev..” Nia membalas sapaan Kevin. Gugup menyelimuti wajah cantiknya hingga pipinya bersemu merah.
Mereka tertawa atas kecanggungan satu sama lain. Sesaat saling melirik lalu tertawa kecil. Ada perasaan aneh yang tak kunjung hilang. Rasa aneh yang menyenangkan. Yang membuat mereka tiba-tiba gugup dan bingung harus memulai pembicaraan. Rasa yang sama seperti saat bertemu pertama kali.
Nia masih ingat pertemuan pertamanya dengan Kevin. Ia tidak akan pernah lupa saat itu. Nia yakin Kevin juga masih mengingatnya. Menyimpan baik-baik kenangan indah itu dalam otak bahkan di hati.
***
Minggu yang menyenangkan. Pagi itu langit nampak cerah. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Hawa dingin terasa menusuk sampai ke tulang membuat sebagian orang kembali merapatkan selimut mereka terlelap dalam mimpi.
Nia berjalan-jalan pagi mengitari kompleks. Ia pergi ke rumah Dian yang terletak tak begitu jauh dari rumahnya. Ia bersenandung kecil di setiap langkah kakinya. Kepalanya sedikit menengadah ke atas bernapas menghirup udara pagi dalam-dalam.
“ Diannya ada, tante?” tanya Nia begitu melihat mama Dian di teras rumah.
“ Dian masih tidur. Masuk aja ke kamarnya.” Kata tante Devi ramah. Nia masuk dan langsung ke kamar Dian.
Ia melihat Dian yang masih bergelung dengan selimut. “ Dian banguun.” Nia berteriak kemudian refleks menutup mulut saat sadar kalau ini bukan rumahnya. Ups!
“ Dian, Bangun dong. Udah pagi nih.” Ia setengah berbisik di telinga Dian. Dian tidak beranjak bangun,hanya menggosok-gosok telinganya sambil bergumam tak jelas.
“Eh, Nia.” Dian seperti tersadar dengan mata sipit,Nia senang. “Hei Nia.” Sapa Dian
“Hai.” Nia balas menyapa sambil melambaikan tangan dengan kening berkerut tak mengerti.
“Ah, tapi mana mungkin Nia disini. Aku pasti cuma mimpi.” Dian melanjutkan tidurnya kembali. Kali ini ia menutup kepalanya dengan bantal dan semakin merapatkan selimutnya. Ia merasa hawa pagi ini dingin sekali. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Setiap pagi memang sangat dingin untuk Dian.

Nia menepuk lengan Dian, tapi tetap tak bangun juga. Setelah berbagai macam usaha dilakukan untuk membangunkan Dian gagal. Ia menyerah lalu segera berpamitan pada tante Devi. Nia memilih berjalan-jalan pagi sendiri.
Ia masih sedikit kesal pada Dian. Anak itu kebiasaan bangun siang. Ia jadi tidak punya teman untuk jalan-jalan pagi. Tidak enak berjalan-jalan sendiri. Tidak ada teman berbincang sembari kakinya yang berjalan. Hari juga sudah mulai siang. Tidak sepagi waktu ia meninggalkan rumah. Ia jadi tampak lesu. Padahal sejak keluar dari rumah ia sangat bersemangat.
Beberapa orang masih berjalan-jalan pagi di sekitarnya. Ada kakek-kakek tua bersama cucu perempuannya. Ada nenek bersama kakek, dan ibu-ibu yang menggandeng anaknya. Ada juga pasangan muda yang saling berjalan bergandengan tangan. Nia senang kebanyakan warga di perumahan ini memiliki kebiasaan hidup sehat. Ia tersenyum pada mentari yang muncul meski sedikit menyilaukan matanya. Ia kembali bersemangat.
Di tegapkan langkahnya. Mulai serius berjalan. Tidak seperti saat memikirkan rencananya yang gagal mengajak Dian jalan-jalan pagi bersama. Ia kembali bersemangat dan besenandng kecil. Ia pikir hari minggu harus di manfaatkan dengan baik. Tidak Cuma berdiam diri di kamar menghabiskan waktu untuk tidur.
Nia tidak menyadari kalau dirinya terlalu jauh berjalan. Ia tidak terlalu mengerti daerah itu. Ia dan keluarganya belum lama pindah. Jujur saja ia bahkan belum tahu nama-nama tetangganya atau pun wajah-wajah mereka semua. Satu-satunya tetangga yang akrab hanya keluarga tante Devi. Itu pun karena mereka memiliki anak yang seumuran dengannya.

Ia berusaha mengingat-ingat mencari jalan keluar. Memutar otaknya berpikir,tapi selalu kembali ke tempat yang sama. Rasanya ia hanya berputar-putar di tempat itu seperti terjebak di jalan buntu. 

Bersambung..

No comments:

Post a Comment