Search This Blog

Friday, February 23, 2018

Burung-Burung Malang


Hai burung, tahukah kamu?

Aku pernah merasa iri ketika melihatmu terbang di angkasa. Kau mengepakkan sayapmu, terbang diatara awan-awan putih yang indah. kulihat kamu dari bawah sini, terasa riang mengitari langit yang sedang kupandang.

sesekali aku mengamatimu yang sedang bersahut cuitan dengan teman-temanmu, terkadang pula terbang bergerombol. Ah, betapa irinya aku melihat semua itu.

Kadang pula kujumpai satu diantara kalian sedang menyendiri. Tapi tetap saja selalu ada keceriaan yang kutemukan. Burung itu tidak bersedih, ia bisa riang bernyanyi meski sedang sendiri. Jika bosan, ia akan mengepakkan sayapnya menuju langit biru. Tak peduli padaku yang menatapnya cemburu.
Pernah kukatakan dengan pelan. Tuhan, betapa senangnya menjadi burung-burung itu. Yupz, aku mengadu.

Tapi, kemudian sebuah pikiran melintas. Mengamati burung kecil itu berulang kali, sekeping peristiwa lalu tiba-tiba muncul dalam ingatanku. Meretas jawab atas apa yang sedang kusuarakan.
Pernah kubeli beberapa burung kecil berwarna-warni. bisa membawa pulang keranjang kecil dengan warna-warni burung di dalamnya, aku dan adikku senang sekali. Karena memang membujuk ibuku untuk memelihara makhluk hidup tidak sama ketika kami meminta sebuah barang khas anak-anak lainnya. Terlebih dulu kami harus berjanji soal menjaga, memberi makan, merawat, dan hal apa pun yang tidak kuingat. Yang kutahu kami berdua hanya harus mengangguk dan menjawab "ya", tak mau jika sampai kesempatan dibelikan itu menguap begitu saja.

Hingga sampai di rumah, kakakku melihat burung-burungitu. Bertaya, "itu burung siapa?" Dengan senang kujawab itu burung milik kami berdua. "Baguskan?"

"Kasihan burungnya, lepaskan saja."

Saat itu aku kesal. Orang dewasa memang jahat, suka menyuruh asal. Selalu meributkan apa yang disukai anak-anak dan mengganggu kesenangan.

"Coba lihat burung itu, hidupnya yang sebenarnya ada di alam bebas. Bisa terbang ke langit, kasihan kan jika harus ada di sangkar sempit?" kakakku bicara lagi.

"Kami bakal beri makan kok, kami bakal rawat dengan baik." Kataku.

"Kalau toh kalian merawat mereka dengan baik, tetap saja mereka butuh kebebasan. Coba bayangkan, apa kamu mau dikasih makan tapi tinggal dalam sangkar?"

Adikku mulai kasihan, "Lepasin yuk." "Milikmu aja yang lepasin, punyaku enggak." Adikku langsung menggeleng.

"Kenapa harus dilepasin, bukannya nanti mereka juga bakal ditangkepin lagi?"

"Berpikirnya jangan seperti itu, setidaknya kita pernah memberikan mereka kebebasan."

"Tapi, ayah juga pelihara burung-burung. Kenapa nggak suruh ayah juga buat lepasin? Di luar sana juga banyak kan yang pelihara burung-burung, kenapa nggak dilepasin? Di penjualnya malahan masih banyak." Kataku lagi. Sungguh, aku benar-benar tidak mau melihat burung-burung lucu itu lepas begitu saja.

"Keputusan itu ada di tangan kita. Jangan melihat orang lain. Ini adalah burung-burung milikmu. Aku juga tidak memaksamu untuk melepaskannya. Pikirkanlah baik-baik dek."

Esok harinya, aku dan adikku sepakat untuk melepaskan burung-burung itu. Entahlah, ada rasa tak tega melihat burung-burung itu hanya terdiam di sangkar.

"Selamat tinggal burung kecil. Aku menyayangimu. Berjanjilah, kalian tidak akan tertangkap lagi. Jangan mau ditangkap lagi ya."

Semua kenangan itu menyibak haru di hatiku. Mungkin memang, burung yang sedang kusaksikan ini beruntung. Tapi di luar sana ada jutaan burung lainnya yang tak seberuntung itu. Mereka punya sayap, namun tak dapat terbang. Ah, burung-burung yang malang.

No comments:

Post a Comment