Via google.co.id
Mentari pagi membagikan sinarnya di bumi. Tersenyum menyaksikan manusia-manusia yang mulai beraktifitas. Ranti mengerjap-ngerjapkan matanya yang silau terkena sinar matahari. Terkadang ia menutupnya dengan tangan. Ranti berpikir sejenak. Dahinya sedikit berkerut membentuk guratan kecil. Sejak tadi ia berdiri mendengarkan nasihat guru di depannya yang terus berbicara karena keterlambatan para siswa termasuk dirinya. Tapi ia tidak merasakan silau matahari sebelum ini. Ia lalu refleks menoleh ke sampingnya. Pria di sebelahnya itu sedang menunduk sehingga tingginya hampir sejajar dengan Ranti. Pantas saja.
Kini Ranti berdiri dengan tenang.
Pria itu sudah tidak menundukkan kepalanya. Ranti senang karena matanya tidak
silau lagi. Ia menoleh sekali lagi pada pria itu. Pria itu tampak tenang. Tidak
ada sedikit pun rasa gelisah yang dapat Ranti tangkap. Ia tetap berdiri tegap
tak peduli sinar mentari pagi yang menyilaukan. Pria itu juga tidak
mengerjap-ngerjapkan mata atau pun meletakkan tangannya di atas dahi untuk
melindungi mata.
Mungkin dia sudah terbiasa terlambat. Pikir Ranti dalam hati.
Setelah serangkaian nasihat di
berikan, guru
itu kemudian memberi hukuman pada siswa berupa membersihkan lingkungan sekolah.
Setiap siswa yang terlambat di bagi-bagi dan mendapatkan tugas yang tidak sama.
Ia dan pria di sebelahnya diharuskan untuk memunguti daun-daun kering yang
jatuh di sekitar aula sekolah yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
Ranti dengan sigap memunguti
daun-daun di depannya. Ia berjongkok dan tanpa rasa jijik memunguti daun yang
telah tergeletak di tanah bersama sisa embun pagi yang membuat daun itu basah.
Ia mengumpulkannya terlebih dahulu menjadi satu lalu setengah berlari menuju
tong sampah dan membuangnya. Ia punguti daun lainnya dan melakukan hal yang
sama. Membuangnya ke tong sampah.
Ranti pikir semakin cepat
pekerjaannya selesai, ia akan semakin cepat meninggalkan tempat itu dan masuk
ke kelasnya. Ia melirik jam tangannya, sudah hampir masuk jam pelajaran ke-2.
Itu artinya dia tidak mengikuti pelajaran pertama. Seketika ada perasaan
bersalah yang muncul di hatinya.
Tanpa sadar pandangan Ranti tertuju
pada pria yang berada tak jauh darinya. Pria itu tidak membantu banyak. Dengan
malas-malasan pria itu membuang daun-daun yang terkumpul ke tong sampah besar.
Dari tadi ia hanya berhasil mengumpulkan segenggam daun kering sementara Ranti
sudah bolak-balik mengitari aula dan tong sampah bergantian.
Pria itu menghampiri Ranti yang
masih mengumpulkan daun-daun. Keningnya sedikit berkerut. Menyaksikan gadis itu
tetap memungut daun-daun yang berserakan.
“Ayo, yang lain udah selesai.” Suara pria itu sesaat mengagetkan
Ranti.
“Tapi, ini masih banyak.” Ranti kembali panik. Di depannya masih
banyak daun-daun berserakan yang belum sempat ia ambil. Dengan tangan bergetar
ia punguti daun-daun itu kembali. Ia baru akan berlari menuju tong sampah
ketika pria itu menarik lengannya. Ranti kaget. Daun-daun yang di genggamnya
dengan kedua tangan kembali jatuh tercecer.
“Hukuman ini hanya simbol. Kamu tidak perlu melakukannya seserius
itu. Tugas kita disini belajar. Sudah Ada orang yang akan membersihkan tempat
ini.” Lanjut pria itu yang masih memagang tangan Ranti lalu menariknya
mendekati gerombolan siswa yang sudah mencangklong tas mereka kembali.
No comments:
Post a Comment