Via google.co.id
Pertanyaan itu masih terkurung dalam pikirannya. Berputar dan menari-nari membuatnya pusing memikirkan itu. Ranti memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha menghilangkan pertanyaan-pertanyaan itu. Membuangnya jauh-jauh meski ia tidak yakin pikiran itu akan terbuang dan tidak menyisakan apa pun di kepalanya.
Ranti menengadahkan
kepalanya ke langit biru. Ia melihat burung-burung terbang rendah di sana.
Sepasang burung yang sejak tadi memperhatikannya dari dahan pohon ikut terbang
rendah menuju langit biru yang tengah di tatap Ranti. Ranti tersenyum melihat
sepasang burung kecil saling berkejaran. Seolah ia bisa merasakan burung-burung
itu bersenandung riang. Ia iri dengan sepasang burung yang tampak rukun itu.
Pikirannya jadi beralih
pada Ranto. Mereka berdua juga sangat rukun. Ranto pria yang baik dan penyabar.
Pria itu selalu mengalah di setiap pertengkaran yang terjadi. Mereka tidak
pernah bertengkar hebat. Selalu ada yang merasa harus mengalah. Rantolah yang
selalu sadar akan hal itu,bahwa pertengkaran tidak akan bisa menyelesaikan
masalah.
Ranti ingat semua
kenangan-kenangan itu. Masa-masa yang telah lewat yang di jalaninya dengan
Ranto. Kebaikan Ranto selama ini ternyata tak mampu untuk memenjarakan cinta di
hatinya. Tidak bisa hanya melabuhkan nama itu dalam setiap bayang-bayang mimpi
Ranti. Cinta telah hilang. Hanya ada kekosongan dan perasaan hampa yang
menyergapnya.
Setiap kali melihat
bayangan Ranto yang muncul hanyalah perasaan bersalah karena telah mengkhianati
cinta pria itu. Wajah pria tampan itu tidak menggugah hatinya sedikit pun.
Tujuh tahun menyulap Ranto yang tampak sempurna bagi gadis-gadis lain menjadi
biasa di mata Ranti. Ranto hanya laki-laki biasa. Tidak ada yang spesial sama
seperti halnya teman laki-lakinya yang lain. Bedanya pria itu berstatus sebagai
kekasihnya dan ia harus memberikan perhatian lebih pada pria itu. Ranti juga
tidak menampik segala kenangan indah yang dilaluinya bersama Ranto. Ia mengakui
bahwa Ranto dulu pernah menjadi yang spesial di hatinya.
Ranti melirik jam
tangannya kembali. Ditatapnya jam tangan biru pemberian Ranto yang terpasang
manis di lengan putihnya dengan mata tak berkedip. Memastikan bahwa jarum jam
itu memang bergerak maju. masih kurang sepuluh menit lagi. Ia membuang napasnya
perlahan. Menengelamkan tubuhnya bersandar di bangku taman itu.
Sesekali ia mengamati
sekeliling. Mengamati sosok Ranto yang mungkin sudah tiba lebih cepat dari
perjanjian mereka sebelumnya. Seperti Ranti yang selalu datang lebih awal dari
Ranto di setiap perjanjian mereka bila akan bertemu. Dia tidak suka membiarkan
orang lain menunggu.
Ranti menggeser duduknya.
Dari tadi ia gelisah. Tak bisa menikmati pemandangan taman kota yang tampak
indah itu seperti pengunjung lainnya. Sore itu taman kota mulai ramai di padati
pengunjung. Pengunjung-pengunjung itu tampak bahagia. Ia bisa melihat senyum
terpancar dari wajah-wajah yang tak dikenalnya.
Ranti menjatuhkan
pandangan matanya ke arah gadis-gadis remaja yang tampak ceria. Mereka tampak
riang berfoto bersama. Berbincang-bincang sambil tertawa. Jika bisa Ranti ingin
sekali mencuri dengar. Siapa tahu dengan begitu ia bisa ikut tertawa. Ia lupa
kapan saat terakhir kali ia tertawa lepas. Ia kembali teringat saat SMA.
masa-masa itu memang penuh tawa.
Bayang-bayang mengaburkan
pandangan Ranti. pikirannya kembali mengulang masa lalu. Mengajaknya
bernostalgia ke dunia yang ia rindukan. Saat ia memakai seragam putih abu-abu.
***
Pagi itu Ranti bangun
terlambat karena begadang sampai larut malam mengerjakan tugas matematika yang
sangat banyak dan menyulitkan. Ia tahu pasti akan telat sampai ke sekolah.
Mamanya tidak mau tahu dan memaksa untuk tetap sarapan. Dengan terburu-buru
ranti mencomot roti isi di atas meja dan meminum segelas susu yang tidak
benar-benar dihabiskannya. Yang penting mamanya tahu kalau dia sudah sarapan.
Ia diantar sopir ke
sekolah. Beberapa kali ia menepuk bahu sopirnya supaya lebih cepat melajukan
mobil itu. Pak sopir hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak majikannya. Setelah masa penantian duduk di mobil itu ia
sampai juga di sekolah. Buru-buru ia membuka pintu mobilnya kemudian menutupnya
secara asal dan berlari,tapi pintu gerbang sudah di tutup. Tubuh Ranti lemas,ia
terlambat ke sekolah untuk pertama kalinya. Seorang guru piket yang berjaga di
pos depan membukakan pintu untuknya. Kemudian menyuruhnya berbaris di antara
siswa terlambat lainnya.
Ranti panik. Jantungnya
berdebar-debar. Itu pengalaman pertama dalam hidupnya. Ia siswi disiplin yang
tidak suka terlambat. Berangkat terlambat tidak pernah ada dalam daftar
rencananya. Itu bahkan lebih mengerikan dari mimpi buruk. Ranti berbaris di
sebelah pria yang lebih tinggi darinya. Ia tidak memperhatikan pria itu dengan
detail. Ia tidak bisa berpikir banyak dalam kondisi semacam itu.
No comments:
Post a Comment