Aku masih memperhatikan
jam dinding yang bertengger kokoh di ruang tengah. Mataku terpaku pada jarum
kecil yang bergerak maju setiap detiknya. Hanya berputar-putar namun mampu
menenggelamkanku.
Aku masih tetap disini.
Tak ingin bergeming dari dudukku. Ku sandarkan kepala ku di kursi keras ini.
Memang terasa tidak nyaman,tapi aku tak peduli.
Kupejamkan mataku.
Bayang-bayang berkelebat. Hatiku menggerimis bila mengingat masalalu. Masalalu
bagiku seharusnya tidak untuk dikenang.
Memang benar penyesalan
selalu datang di akhir. Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku berjanji akan
merubah semuanya. Peristiwa itu masih membayangiku. Satu kejadian yang kusesali
sepanjang hidup ini.
Sepuluh tahun yang lalu, saat umurku masih 20 tahun. Seseorang mengajakku menikah. Aku
menolaknya.
Masih teringat jelas saat
itu. Kami sedang duduk di taman kota. Beristirahat di bawah pohon rindang
setelah lelah berjalan di pagi hari.
“Aku sudah diwisuda sekarang dan berhasil memperoleh
pekerjaan. Bagaimana kalau kita menikah?” Ungkapnya padaku dengan cara bicara
yang gugup.
Aku kaget lalu tertawa kecil. “ Aku masih kuliah.”
Jawabku santai.
“Aku tidak meminta menikah sekarang. Mungkin beberapa
tahun lagi?” Ia masih berusaha untuk menjelaskan padaku bahwa menikah bukan hal
yang buruk dan aku tak perlu mengkhawatirkan apa pun.
Aku hanya mengangguk, tapi tidak sepenuhnya memasukkan rencana itu dalam pikiranku. Kurasa
aku masih terlalu muda untuk memikirkan hal semacam itu. Aku punya daftar hal
lain yang harus kulakukan sebelum aku memutuskan menikah.
***
Tahun-tahun berjalan dan
kami masih melewatinya bersama. Tak ada yang berubah. Dia selalu di samping ku
saat suka maupun duka. Aku senang dengan kebersamaan kami, tapi aku belum ingin menikah.
Baca Juga: Cintaku Kepentok Bola
***
Aku duduk di depan meja
yang dihiasi lilin dan aneka hidangan mewah. Kami duduk berhadapan beratapkan
langit malam. Bulan dan bintang ikut memeriahkan suasana malam itu. Itu adalah
malam teromantis yang pernah terjadi dalam hidupku, meski aku terlambat menyadarinya.
Saat itu usiaku 25 tahun.
Ia kembali mengutarakan ajakannya dulu. Matanya tak lepas menatap ke arahku.
“ Kamu sudah lulus kuliah. Kita sama-sama telah bekerja.
Kurasa Kita sudah memasuki waktu yang tepat untuk menikah. Bagaimana
menurutmu?” ia kembali menanyakan pendapatku. Kali ini dengan sebuah kotak
kecil yang terbuka dan aku bisa melihat cincin di dalamnya.
Bersambung..
No comments:
Post a Comment